Jumat, 20 Januari 2012

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF FIQIH DAN UU NO. 1/1974


PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF
FIQIH DAN UU NO. 1/1974

Karya  Tulis Ilmiyah  ini

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah

“BAHASA INDONESIA”




Disusun oleh :
Moh. Ainun Najib
C51210146

Dosen Pembimbing:
Siti Rumila, M.Pd


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
SURABAYA
2011




KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seluruh alam, atas limpahan  rahmat, nikmat serta kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul “Nikah Beda Agama  dalam Prespektif Fiqih dan UU No. 1/1974”. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada sang revolusioner akabar Nabi Muhammad SAW. Yang telah menunjukkan kita semua menuju ke jalan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Islam adalah agama kemanusiaan. Ajaran-ajarannya senantiasa sejalan dengan kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua yang bisa membuat manusia memperoleh kebaikan dan kemaslahatan, islam pasti membolehkannya, mengajurkan, bahkan mewjibkannya untuk dilakukan. Sebaliknya  semua yang bisa membuatmanusia celaka dan tidak bahagia, maka islam pasti melarangnya untuk dilakukan. Itu semua memang ajaran islam yang telah di syariatkan oleh Allah SWT kepada manusia, untuk manusia, untuk kebaikan dan kemaslahatannya, untuk keselamatan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Berangkat dari paradigma islam tersebut, maka penulis menyajikan perbincangan tentang hukum nikah bedah agama, yang akan dibahas secara rinci nanti dalam bab pembahasan. Sebenarnya hukum asal dari pernikahan adalah mubah, tetapi manakalah pernikahan itu membawa kemaslahatan dan menjadi terciptanya keluarga skinah, mawaddah dan rahmah di antara semua pihak yang terlibat, dapat menjalin tali persudaraan yang luas dan kuat, serta dilakukan dengan cara yang telah disyariatkan, sehingga mewujudkan generasi yang unggul, maka hukumnya menjadi sunnah.  Bahkan, bila dengan tidak nikah menyebabkan mafsadat berupa putusnya silaturahim atau terjerumus pada hal-hal yang negatif, seperti zina dan mabuk-mabukan, maka hukum nikah menjadi wajib. Tetapi sebaliknya. Jika pernikahan tersebut menyebabkan terjadinya mafsadat atau madlarat, seperti adanya pihak yang dianiaya atau disengsarakan, mka pernikahan menjadi makruh bahkan bisa menjadi haram tergantung besar kecilnya tingkat kemadlaratan yang ditimbulkan. Berkaitan dengan itu, maka kehadiran dan keterlibatan pemerintah (KUA dan Pengadilan Agama) dalam pernikahan, harus dalam rangka memelihara pernikahan agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan peraturan perundangan, serta demi keutuhan pernikahan itu sendiri, dan demi kebaikan dan kemaslahatan para pihak yang terlibat dalam pernikahan itu.


                                                                         Surabaya, 16 Juni 2011
                                                                                       Ttd

                                                                                                 Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISIiii

BAB I : PENDAHULUAN1
1.1. Latar Belakang1
1.2. Rumusan Masalah3
1.3. Tujuan Penelitia4
1.4. Manfaat Penelitian4
1.5. Sistematika Penulisan4

BAB II : LANDASAN TEORI5
2.1. Pengertian Perkawinan5
2.2. Tujuan Perkawinan7
2.3. Syarat Sahnya  Perkawinan8
2.2. Dasar-dasar Perkawinan di Indonesia8


BAB III : MEODE PENELITIAN10
2.1. Pendekatan Penelitian10
2.2. Data dan Sumber Data10
2.3. Instrumen11
2.4. Teknik Analisis Data11

BAB IV  : PEMBAHASAN13
2.1. Perbedaan Pendapat Hukum Kawin Antar Agama13
2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kawin Antar Agama23
2.3. Akibat yang Ditimbulkan dari Perkawinan Antar Agama25
BAB V : PENUTUP30
3.1. Simpulan30
3.2. Saran31
DAFTAR PUSTAKA32

BAB  I
PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dibahas latar belakang tentang kenapa penulis memilih judul tentang “Kawin Beda Agama”. Disamping itu juga terdapat rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1    Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut.
Dalam Islam perkawinan antar agama atau nikah beda agama merupakan permasalahan yang cukup lama, tetapi selalu hangat untuk dibicarakan hingga saat ini. Dalam  kenyataannya nikah beda agama di masyarakat masih banyak terjadi, di sini terjadi perbedaan pendapat di antar kalangan ulama mengenai persoalan halal dan haramnya pernikahan tersebut. Mayoritas ulama sejak zaman Sahabat hingga sekarang sepakat bahwa wanita islam haram hukumnya menikah dengan laki-laki non muslim, begitu juga sebaliknya seorang laki-laki dilarang menikah dengan perempuan non muslim, berdasarkan ayat al-Quran surat al-Baqarah (2) ayat 221.
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
 Dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan hukum fiqih dan juga perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak di inginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang plural.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan dan hukum fiqih itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang “ Perkawinan Beda Agama dalam Prespektif Fiqih dan UU No.1/1974”.
1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas secara rinci sesuai dengan yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.2.1. Apa hukum kawin beda agama?
1.2.2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kawin beda agama?
1.2.3. Apa saja akibat yang ditimbulkan dari kawin beda agama?
1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1.      Memberikan pengetahuan tentang hukum kawin beda agama.
1.3.2.      Memberikan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin beda agama.
1.3.3.      Memberi pengetahuan mengenai akibat yang ditimbulkan dari kawin beda agama.
1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1.      Mengetahui penjelasan dari hukum kawin beda agama.
1.4.2.      Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin beda agama.
1.4.3.      Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari kawin beda agama.
1.5    Sistematika Penulisan
Bab I          : Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, dan sistematika penuilisan.
Bab II         : Landasan teoritis yang memuat beberapa analisa pembahasan mengenai perkawinan yang di uraikan dengan sub-sub pembahasan yang relevan.
Bab III       : Metode Penelitian yang memuat Pendekatan Penelitian, Data dan Sumber Data, Instrumen, dan Teknik Analisis Data.
Bab IV       : Pengujian dan Analisis pembahasan mengenai hukum nikah antar agama serta faktor dan akibat dari nikah antar agama.
Bab V         : Penutup yang memuat kesimpulan dan saran

BAB  II
LANDASAN TEORI

            Dalam bab dua  ini, akan dipaparkan teori, konsep-konsep, beberapa pendapat  mengenai masalah perkawinan, tujuan dan syarat sahnya perkawinan dan dasar-dasar perkawinan. Secara garis besar, teori dan konsep-konsep tersebut akan diklasifikasikan menjadi empat subbab, yaitu (1) Pengertian perkawinan, (2) Tujuan perkawinan, (3) Syarat sahnya perkawinan, (4) Dasar-dasar perkawinan di Indonesia.
2.1 Pengertian Perkawinan
 (Abdul Rahman Ghozali, 2008:7) Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin. Perkawinan disebut juga “pernikahan” yang berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.
Dalam buku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 memberikan definisi. “Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akat yang sangat kuat atau atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Sedangkan menurut UU perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 1menjaelaskan: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin dari seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam menaati perintah Allah dan merupakan suatu perbuatan ibadah. Berikut adalah perintah Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan, firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32 :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Perkawinan merupakan sunnah Rosul, yaitu salah satu bentuk dari ibadah. Perkawinan yang tujuannya baik, di Indonesia khususnya persoalan perkawinan sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, penyebabnya yaitu perbedaan agama. Sebenarnya telah disebutkan dengan jelas seorang muslim laki-laki diperbolehkan untuk menikah dengan perempuan non-muslim. Namun dilarang untuk melakukan perkawinan sebab kerugian yang ditimbulkan lebih besar dari pada keuntungannya selain itu didorong akan adanya persaingan keagamaan.
2.2  Tujuan Perkawinan
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan biologisnya termasuk dalam aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadianya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan. Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
  Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Dari tujuan diatas, dapat dikembangkan menjadi lima yaitu :
1.      Agar dapat memperoleh keturunan.
2.      Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung  jawab.
3.      Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4.       Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5.      Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.(abdul Rahman Ghozali, 2008; 24)
2.3  Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang  janda.
2.4 Dasar-dasar perkawinan di Indonesia
Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a.       Buku Kompilasi Hukum Islam
b.      Buku I KUH Perdata.
c.       UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.
d.      UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
e.       PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974.
f.       Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

BAB  III
METODE PENELITIAN

            Dalam bab ini akan di paparkan cara atau metode penulis melakukan penelitian selama masa penelitiannya. Dalam metode penelitian perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu pendekatan penelitian, data dan sumber data, instrumen dan teknik analisis data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitiaan ini, penulis hanya menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengacu pada beberapa refrensi karya tulis yang ada. Penulis tidak melakukan penelitian langsung ke masyarakat dengan mengumpulkan data-data yang ada sebab waktu yang dimiliki terbatas walaupun kefalidan penelitian langsung tidak diragukan lagi. Namun paling tidak hasil penelitian dari karya tulis yang ada itu bisa dipertanggung jawabkan.
Selain itu, penelitian yang dilakukan berdasarkan realita yang ada di masyarakat. Data-data tersebut bisa dijumpai di berbagai sarana informasi, seperti media cetak dan media elektronik.
3.2    Data dan Sumber Data
3.2.1   Data
Wujud data dalam penelitian ini berupa kasus-kasus nikah antar agama yang terjadi di Indonesia. Data yang terkumpul tidak mungkin memanipulasi karena data tersebut di ambil dari karya tulis dan berbagai sumber berita yang sampai kepada masyarakat. Peniliti dapat memperoleh data dari bahan jadi yang mampu dijadikan pijakan dasar dalam penelitian.
3.2.2 Sumber Data
Seperti yang sudah disinggung penulis di atas bahwasannya, penulis memperoleh sumber data dari beberapa karya tulis dan berbagai media, baik itu media cetak atau media elektronik. Yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan penelitian.
3.3    Instrumen
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa karya tulis yang berkaitan dengan tema sebagai instrumen penelitian. Karena sebagai mana diketahui bersama bahwa polemik nikah antar agama di Indonesia ini, belum ada kejelasan hukum yang tegas antara memperbolehkan atau tidak mengenai hal ini.
Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis menggunakan hukum fiqh dan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Dalam menentukan status hukum dari praktek nikah antar agama.
3.4  Teknik Analisis Data
Sebagaimana yang telah dikatakan penulis diatas, bahwasannya penulis menggunakan metode kualitatif. Adapun teknik yang dilakukan dalam meneliti tema yang telah disebutkan, yang sumber datanya merupakan karya tulis adalah sebagai berikut:
3.4.1        Mencari karya tulis-karya tulis yang membahas tentang tema yang diangkat,
3.4.2        Menganalisis karya-karya tulis yang didalamnya dibahas tema yang diangkat,
3.4.3        Membandingkan berberapa karya tulis yang membahas tema yang diangkat,
3.4.4        Mengambil kesimpulan dari berbagai karya tulis yang diteliti.


BAB  IV
PEMBAHASAN

            Bab ini merupakan inti dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, karena dalam bab ini penulis akan menguraikan pembahasan mengenai hukum perkawinan beda agama yang masih banyak dilaksanakan oleh masyarakat dalam pandangan fiqih dan UU No. 1/1974, faktor-faktor yang menyebabkan serta akibat yang ditimbulkan dari pernikahan beda agama tersebut.
4.1. Perbedaan Pendapat Hukum Kawin Antar agama
4.1.1. Nikah beda agama dalam prespektif fiqih
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Sedemikian pentingnya sehingga semua agama mempunyai aturan tersendiri dalam melaksanakan upacara pernikahan.
Perkawinan beda agama memang sudah cukup lama di diskusikan hingga sekarang, akan tetapi masih saja menarik perhatian untuk di kaji dan di teliti lagi. Mayoritas ulama berpendapat mengenai hukum perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik. Sebagaimana di haramkannya makan sembelihannya, begitu juga halnya mengawini wanita atheis (mulhid) kecuali bila ia masuk islam baru dihalalkan oleh agama.  Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Baqarah (2) ayat 221.
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam ayat ini terdapat keterangan, agar orang muslim selalu berhati-hati terhadap jebakan orang-orang musyrik, yang mempunyai siasat untuk menggiring meninggalkan agama islam dengan menawari perempuan yang cantik.
Drs. H. Mahjuddin, M.Pd.I dalam bukunya “Masailul Fiqhiyah” mengatakan, agama islam membolehkan penganutnya yang laki-laki mengawini perempuan Ahlul Kitab, sebagaimana halalnya memakan binatang sembelihannya. Kebolehan ini bertujuan untuk membuat sikap toleransi terhadap penganut agama lain, dan memungkinkan terjadinya upaya suami untuk mendidik istrinya menganut agama islam, karena tabiatnya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya. Pendapat ini berdasarkan pada al-Quran ayat 5 surat al-Maidah yang berbunyi:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ. وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ. وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
     Agama islam tidak membolehkan penganutnya yang perempuan dikawini oleh laki-laki Ahlul Kitab, berdasarkan firman Allah ayat 10 surat al-Mumtahanah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ. اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ. وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ. وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
     Dari ayat ini dapat diambil keterangan salah satunya, yaitu larangan Allah agar perempuan muslimah  tidak dikawini oleh Ahlul Kitab (orang-orang kafir), karena dikhawatirkan akan dipengaruhi meninggalkan agamanya. Agama islam memandang pada terlalu besar kemungkinan terjadinya hal tersebut, karena suamilah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Tentu saja, ia akan menggunakan kewenangan pemimpin untuk mengajak keluarganya agar menganut keyakinannya.
Yang menjadi persoalan yaitu perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab atau kitabiyah. Secara tekstual memang surat al-Baqarah ayat 221 tersebut melarang perkawinan antara orang islam dengan non islam,  akan tetapi menurut pandangan ulama pada umumnya pernikahan seorang muslim dengan kitabiyah itu dibolehkan dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya atas dasar sikap musyrik kitabiyah bahkan tidak sedikit para ulama yang mengharamkannya dengan berpegang pada sad al-Dzari’ah, karena mudahnya fitnah dan mafsadat yang timbul dari perkawinan tersebut.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahli kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Bani Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Yusuf al-Qardhawi (Surabaya: 1996/254). Dalam bukunya Yusuf al-Qadhawi menjelaskan bahawasannya. Dalam lawatannya ke Eropa dan Amerika Serikat beliau berkesempatan bertemu dengan para Mahasiswa Indonesia yang belajar disana, yang bekerja, dan ada juga yang berdiam disana. Ada pula yang untuk menetap disana. Kebanyakan dari mereka bertanya seputar hukum agma yaitu mengenai pernikahan dengan orang yang non-Islam, dari golongan Ahlul Kitab, terutama wanita Yahudi dan Nasrani yang dibolehkan oleh islam.  Kedua golongan ini di beri hak dari pada golongan lainnya. Dari sini perlu diterangkan macam golongan wanita non-Islam, mereka terdiri dari golongan wanita musyrik, mulhidah, murtad, dan wanita Ahli Kitab.
Pertama menikah dengan wanita musyrik, sudah jelas bahwasannya menikah dengan wanita musyrik  itu diharamkan, karena yang dimaksud wanita musyrik disini adalah wanita penyembah berhala. Berdasarkan Firman Allah SWT Q.S al-Baqarah: 221. Kedua menikah dengan wanita mulhidah. Yang dimaksud wanita mulhidah adalah wanita yang tidak beriman dengan agama manapun. Dia tidak mengakui hal-hal yang menyangkut ketuhanan, kenabian, kitab, dan adanya hari akhir. Hukum menikahi wanita yang demikian itu haram, bahkan lebih keras larangannya dari pada wanita musyrik sebab wanitamusyrik masih mempercayai adanya Tuhan. Ketiga wanita murtad, yang dimaksud wanita murtad adalah wanita yang keluar dari agama islam, baik ia memeluk agama yang dipindahinya itu termasuk Ahli Kitab atau di luar Ahli Kitab haram hukumnya menikahi wanita yang demikian. Karena islam tidak pernah memaksa untuk memeluknya, islam tidak menerima iman seseorang karena terpaksa. Akan tetapi orang yang memeluk agama islam dengan keinginannya sendiri tanpa paksaan, ia tidak boleh keluar dari islam. Berdasarkan Firman Allah Q.S al-Baqarah: 217. Keempat wanita Ahli Kitab, mengenai wanita Ahli Kitab beliau sependapat dengan Jumhur Ulama, yang membolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab. Karena Allah menghalalkan umat islam untuk memakan binatang sembelihan mereka dan mengawini wanita mereka. Berdasarkan firman Allah Q.S al-Maidah: 5.
Dalam kitab tafsir al-Manar di jelaskan, ulama mempersoalkan mengenai nikah dengan wanita pengikut kitab Injil dan Taurat,  yang dimaksud itu pada ahli kitab ( Nasrani dan Yahudi) di masa Nabi mereka masih hidup serta kitabnya masih murni belum mengalami perubahan dan penyimpangan ataukah yang dimaksud ahli kitab disini itu para keturunan mereka serta kitabnya juga tidak murni lagi sudah mengalami perubahan dan penyimpangan. Hal ini menunjukkan adanya dua kelompok pandangan. Kelompok pertama berpendapat, bahwa Kitabiyah (pengikut Taurat dan Injil) halal dinikahi meskipun sudah ada penyimpangan. Kelompok kedua berpendapat, bahwa Kitabiyah yang boleh dinikahi adalah Kitabiyah yang keyakinannya masih murni belum ada perubahan sebagaimana ajaran kitab yang masih murni. Sedangkan Kitabiyah yang sudah menyimpang haram dinikahi, keharaman menikahi kitabiyah menurut kelompok ini karena menganggapnya musyrik , dan wanita musyrik haram dinikahi.
4.1.2. Nikah beda agama dalam prespektif UU No. 1 Tahun 1974
Keadaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, golongan, dan agama sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku, golongan, dan agama. Terlebih lagi didaerah yang sudah kompleks, seperti di daerah Jakarta yang menjadi Ibu Kota Indonesia hubungan antar individu sangatlah tinggi biasanya hubungan tersebut terjadi karena bersangkutan dengan bisnis, mereka tidak menghiraukan partner bisnisnya itu berbeda agama dengan dirinya atau tidak seperti halnya kalangan selebriti dalam suatu adegan film atau yang lain, tanpa disengaja akan pasti terjadi hubungan pertemanan yang sangat tinggi di antara individu para pemain pria dan wanita, lama kelamaan akan terjadi suatu keakraban yang kemudian menjadi cinta.
Berikut ini adalah rujukan mengenai perkawinan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 juga dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No. 1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 8 point (f) UU No. 1/1974 juga menyatakan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku lain dilarang kawin”
Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan di dalam UU No. 1/1974 dan peraturan-peraturan lainnya, juga ada yang larangan itu bersumber dari agamanya masing-masing. Oleh karena itu apabila di dalam UU No. 1/1974 dan peraturan-peraturan lainnya tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka yang menentukan ada dan tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Dalam prakteknya perkawinan antar agama dilakukan di Kantor Catatan Sipil, padahal sebenarnya Lembaga Catatan Sipil tidak berwenang untuk melaksanakan perkaiwnan antar agama, terutama apabila salah satunya beragama islam. Tetapi pada kenyataanya sebagian anggota masyarakat kurang mau peduli dan tetap menuntu untuk dilayani dan melangsungkan  perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan Kantor Catatan Sipil melayani mereka. Adapun proses pelaksanaan perkawinan antar agama yang salah satu pelakunya beeragama islam adalah sebagai berikut:
1)        Kantor Catatan Sipil, sementara membuat surat penolakan kepada yang bersangkutan untuk melangsungkan perkawianan di Kantor Catatan Sipil.
2)        Kantor Catatan Sipil membuat surat permohonan izin kepada BP4 dan KUA untuk meberikan nasihat atas perkawinan mereka. Dan pada umumnya PB4 dan KUA akan menolak memberikan izin kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
3)        Kemudian Kantor Catatan Sipil membuat surat keterangan agar mereka mengajukan permohonan ke Pengadialan Agama (PA), dan biasanya PA menolak mereka untuk melangsungkan perkawinan Kantor Catatan Sipil.
4)        Pada akhirnya, permohonan izin nikah ke Pengadilan Negeri (PN), dan pada umumnya PN mengabulkan permohonan tersebut dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil untuk melaksanakan perkawinan antar dua orang yang berbeda agama itu.
4.2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nikah beda agama
1.    Kenyataan di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri dari bermacam–macam suku bangsa, juga adanya agama yang beraneka ragam di Indonesia. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pergaulan sehari–hari, dalam kehidupan bermasyarakat, bergaul begitu erat dan tidak membedakan agama yang satu dengan yang lainnya.
2.    Dengan makin majunya jaman, makin banyak anggota masyarakat yang dapat menikmati pendidikan, dan makin banyak sekolah yang menggunakan sistem campuran dalam seks, maupun campuran dalam hal agama, yang berarti adanya batasan agama tertentu.
3.    Makin dirasakan usang terhadap pendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penentu dalam pemilihan calon pasangan bagi anak–anaknya, bahwa mereka harus kawin dengan orang yang mempunyai agama yang sama.
4.    Makin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon pasangannya, dan pemilihan tersebut berdasarkan atas cinta. Jika cinta telah mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita, tidak jarang pertimbangan secara matang juga termasuk menyangkut agama kurang dapat berperan.
5.    Dengan meningkatnya hubungan anak–anak muda Indonesia dengan anak–anak muda dari manca negara, sebagai akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa, kebudayaan, agama serta latar belakang yang berbeda hal tersebut sedikit atau banyak ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama. Sehingga bagi anak–anak muda kawin dengan agama yang berbeda seakan–akan sudah tidak menjadi masalah lagi.

4.3. Akibat yang ditimbulkan dari nikah beda agama
Dalam kenyataanya tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia pada beberapa tahun kebelakang ini banyak sekali terjadi perkawinan beda agama, yang di lakukan oleh kalangan selebriti tanah air. Bahkan, seiring dengan perkembangan zaman ini, makin banyak pasangan beda agama yang makin berani untuk menentang arus dan menikah, meskipun masih banyak kontroversi seputar pernikahan beda agama, dan itu semua tidak akan lepas dari permasalahan-permasalahan. Banyak sekali permasalahan yang timbul akibat dari perkawinan tersebut.
Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama. Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga. Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Begitu pun ketika Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan ibadah di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka.
Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangatlah penting terpelihara dan tumbuh dalam keluarga.
Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar karena tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Maka dari itu, tugas yang harus dilaksanakn setiap orang yang membina keluarga yaitu, saling mengisi dan melengkapi di antara pasangannya. Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama. Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
Mengenai masalah anak orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak baik dan terpuji, yaitu anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Ketika di hadapkan pada masalah yang seperti ini anak pasti bingung mana yang harus dipilih, psikologi anak bisa saja jadi terganggu oleh permasalahan orang tuanya. Dan anak juga yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.
Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama, kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah. Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis. Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama.
Ada cerita tentang seorang suami (muslim) yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang beragama Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslimah. Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih tetap kokoh dengan keyakinan agamanya. Tapi harapannya belum juga terwujud dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang. Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas tentu saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas menjadi pelajaran. Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak, cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja seperti pernikahan Jamal Mirdad dan Lidya Kandau adalah salah satu pasangan di Indonesia yang berhasil membuktikan bahwa pernikahan bisa berlangsung dengan bahagia meskipun di landasi oleh dua keyakinan yang berbeda.
Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.



BAB V
PENUTUP

5.1    Simpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut:
5.1.1        Agama Islam melarang pria muslim menikah dengan wanita non islam. Yang dimaksud wanita non islam disini, yaitu wanita Musyrik, Mulhiddah, dan Murtad. Begitu juga sebaliknya wanita islam dilarang menikah dengan pri non islam sebab dikhawatirkan ia akan mengajak istrinya untuk menganut kepercayaan dan keyakinannya, yang pada dasarnya suami merupakan seorang pemimpin dalam keluarga.
5.1.2        Agama islam membolehkan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani). Yang dimaksud Ahli Kitab disini yaitu Ahli Kitab yang keyakinannya masih murni belum ada perubahan sebagaimana ajaran kitab yang masih murni. Sedangkan Kitabiyah yang sudah menyimpang haram dinikahi, keharaman menikahi kitabiyah menurut kelompok ini karena menganggapnya musyrik , dan wanita musyrik haram dinikahi.
5.1.3        Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
5.1.4        Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.

5.2    Saran
Dengan adanya penjelasan mengenai perkawinan beda agama di atas, maka diharapkan supaya masyarakat tidak melakukannya terutama orang islam. Dalam islam dilarang menikah dengan orang non islam, kecuali dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang masih murni ajaran kitabnya belum mengalami perubahan.
Selain itu juga, yang menyebabkan perkawinan beda agama itu tidak diperbolehkan adalah karena madlarat/kerugian yang ditimbulkan akibat perkwinan tersebut lebih banyak dari manfaatnya/keuntungannya. Dan juga belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur perkawinan tersebut, sehingga masih banyak masyarakat yang melaksanakannya.

DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Mahjuddin, 2007, Masailul Fiqhiyah, berbagai kasus yang dihadapi hukum islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia.
M. Situmorang, Victor dan Sitanggang, Cormentyna, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Qardhawi, Yusuf, 1996, Problematika Islam Masa Kini, Bandung: Trigenda Karya.
Qardhawi, Yusuf, 1996, Fatawa Qardhawi Permasalahan Pemecahan dan Hikmah, Surabaya: Risalah Gusti.
Wasman dan Nuroniyah, Wardah, 2011, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta: Teras.
http://www.haifren.com/lifestyle/askep/ilmu-komunikasi/pernikahan-beda-agama
www.uinjkt.ac.id