PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF
FIQIH DAN UU NO. 1/1974
Karya Tulis Ilmiyah ini
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata
Kuliah
“BAHASA
INDONESIA”
Disusun
oleh :
Moh. Ainun Najib
C51210146
Dosen Pembimbing:
Siti
Rumila, M.Pd
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS
SYARI’AH
JURUSAN AHWAL
ASY-SYAKHSIYAH
SURABAYA
2011
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seluruh alam, atas limpahan rahmat, nikmat serta kesehatan sehingga
penulis bisa menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul “Nikah Beda
Agama dalam Prespektif Fiqih dan UU No.
1/1974”. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada sang
revolusioner akabar Nabi Muhammad SAW. Yang telah menunjukkan kita semua menuju
ke jalan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Islam adalah agama kemanusiaan. Ajaran-ajarannya senantiasa sejalan
dengan kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua yang bisa membuat manusia memperoleh
kebaikan dan kemaslahatan, islam pasti membolehkannya, mengajurkan, bahkan
mewjibkannya untuk dilakukan. Sebaliknya
semua yang bisa membuatmanusia celaka dan tidak bahagia, maka islam
pasti melarangnya untuk dilakukan. Itu semua memang ajaran islam yang telah di
syariatkan oleh Allah SWT kepada manusia, untuk manusia, untuk kebaikan dan
kemaslahatannya, untuk keselamatan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Berangkat dari paradigma islam tersebut, maka penulis menyajikan perbincangan
tentang hukum nikah bedah agama, yang akan dibahas secara rinci nanti dalam bab
pembahasan. Sebenarnya hukum asal dari pernikahan adalah mubah, tetapi
manakalah pernikahan itu membawa kemaslahatan dan menjadi terciptanya keluarga skinah,
mawaddah dan rahmah di antara semua pihak yang terlibat, dapat
menjalin tali persudaraan yang luas dan kuat, serta dilakukan dengan cara yang
telah disyariatkan, sehingga mewujudkan generasi yang unggul, maka hukumnya
menjadi sunnah. Bahkan, bila dengan
tidak nikah menyebabkan mafsadat berupa putusnya silaturahim atau
terjerumus pada hal-hal yang negatif, seperti zina dan mabuk-mabukan, maka
hukum nikah menjadi wajib. Tetapi sebaliknya. Jika pernikahan tersebut
menyebabkan terjadinya mafsadat atau madlarat, seperti adanya pihak yang
dianiaya atau disengsarakan, mka pernikahan menjadi makruh bahkan bisa menjadi
haram tergantung besar kecilnya tingkat kemadlaratan yang ditimbulkan.
Berkaitan dengan itu, maka kehadiran dan keterlibatan pemerintah (KUA dan
Pengadilan Agama) dalam pernikahan, harus dalam rangka memelihara pernikahan
agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan peraturan perundangan,
serta demi keutuhan pernikahan itu sendiri, dan demi kebaikan dan kemaslahatan para
pihak yang terlibat dalam pernikahan itu.
Surabaya, 16 Juni 2011
Ttd
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISIiii
BAB I : PENDAHULUAN1
1.1.
Latar Belakang1
1.2.
Rumusan Masalah3
1.3.
Tujuan
Penelitia4
1.4.
Manfaat
Penelitian4
1.5.
Sistematika Penulisan4
BAB II : LANDASAN TEORI5
2.1.
Pengertian Perkawinan5
2.2.
Tujuan Perkawinan7
2.3. Syarat Sahnya
Perkawinan8
2.2.
Dasar-dasar Perkawinan di Indonesia8
BAB III : MEODE PENELITIAN10
2.1.
Pendekatan Penelitian10
2.2.
Data dan Sumber Data10
2.3.
Instrumen11
2.4.
Teknik Analisis Data11
BAB IV : PEMBAHASAN13
2.1.
Perbedaan Pendapat Hukum Kawin Antar Agama13
2.2.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kawin Antar Agama23
2.3.
Akibat yang Ditimbulkan dari Perkawinan Antar Agama25
BAB V : PENUTUP30
3.1.
Simpulan30
3.2.
Saran31
DAFTAR PUSTAKA32
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas latar belakang tentang kenapa penulis memilih
judul tentang “Kawin Beda Agama”. Disamping itu juga terdapat rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam
dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang
wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah tentunya memerlukan suatu komitmen yang
kuat diantara pasangan tersebut.
Dalam Islam
perkawinan antar agama atau nikah beda agama merupakan permasalahan yang cukup
lama, tetapi selalu hangat untuk dibicarakan hingga saat ini. Dalam kenyataannya nikah beda agama di masyarakat
masih banyak terjadi, di sini terjadi perbedaan pendapat di antar kalangan
ulama mengenai persoalan halal dan haramnya pernikahan tersebut. Mayoritas
ulama sejak zaman Sahabat hingga sekarang sepakat bahwa wanita islam haram
hukumnya menikah dengan laki-laki non muslim, begitu juga sebaliknya seorang
laki-laki dilarang menikah dengan perempuan non muslim, berdasarkan ayat
al-Quran surat al-Baqarah (2) ayat 221.
وَلاَ
تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ
الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ
إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Dalam
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan
yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah
perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU
No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya
perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini
berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama.
Kenyataan dalam kehidupan
masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai
realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan
hukum fiqih dan juga perundang-undangan yang berlaku secara positif di
Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya
perkawinan antar agama tidak di inginkan, karena bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih
saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial
diantara seluruh warga negara Indonesia yang plural.
Dari kenyataan yang terjadi
di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut
aturan perundang-undangan dan hukum fiqih itu sebenarnya tidak dikehendaki.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan
pendapat tentang “ Perkawinan Beda Agama dalam Prespektif Fiqih dan UU
No.1/1974”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka agar permasalahan dapat dibahas secara rinci sesuai dengan yang diharapkan
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.2.1.
Apa hukum kawin beda agama?
1.2.2.
Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kawin beda agama?
1.2.3.
Apa saja akibat yang ditimbulkan dari kawin beda agama?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1.
Memberikan pengetahuan tentang
hukum kawin beda agama.
1.3.2.
Memberikan pengetahuan mengenai
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin beda agama.
1.3.3.
Memberi pengetahuan mengenai
akibat yang ditimbulkan dari kawin beda agama.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1.
Mengetahui penjelasan dari hukum
kawin beda agama.
1.4.2.
Mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kawin beda agama.
1.4.3.
Mengetahui akibat yang ditimbulkan
dari kawin beda agama.
1.5
Sistematika Penulisan
Bab
I : Pendahuluan yang
terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penelitian, dan sistematika penuilisan.
Bab
II : Landasan teoritis yang
memuat beberapa analisa pembahasan mengenai perkawinan yang di uraikan dengan
sub-sub pembahasan yang relevan.
Bab
III : Metode Penelitian yang
memuat Pendekatan Penelitian, Data dan Sumber Data, Instrumen, dan Teknik
Analisis Data.
Bab
IV : Pengujian dan Analisis pembahasan
mengenai hukum nikah antar agama serta faktor dan akibat dari nikah antar
agama.
Bab V : Penutup yang memuat kesimpulan
dan saran
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab dua ini, akan
dipaparkan teori, konsep-konsep, beberapa pendapat mengenai masalah perkawinan, tujuan dan syarat
sahnya perkawinan dan dasar-dasar perkawinan. Secara garis besar, teori dan konsep-konsep
tersebut akan diklasifikasikan menjadi empat subbab, yaitu (1) Pengertian perkawinan,
(2) Tujuan perkawinan, (3) Syarat sahnya perkawinan, (4) Dasar-dasar perkawinan
di Indonesia.
2.1 Pengertian
Perkawinan
(Abdul
Rahman Ghozali, 2008:7) Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin. Perkawinan disebut juga “pernikahan” yang berasal
dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,
dan digunakan untuk arti bersetubuh.
Dalam buku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 memberikan
definisi. “Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akat yang
sangat kuat atau atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
Sedangkan menurut UU perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 1menjaelaskan: ”Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan merupakan suatu
ikatan lahir batin dari seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga
dalam menaati perintah Allah dan merupakan suatu perbuatan ibadah. Berikut
adalah perintah Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan, firman-Nya
dalam surat an-Nur ayat 32 :
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Perkawinan merupakan sunnah Rosul, yaitu salah
satu bentuk dari ibadah. Perkawinan yang tujuannya baik, di Indonesia khususnya
persoalan perkawinan sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat,
penyebabnya yaitu perbedaan agama. Sebenarnya telah disebutkan dengan jelas seorang
muslim laki-laki diperbolehkan untuk menikah dengan perempuan non-muslim. Namun
dilarang untuk melakukan perkawinan sebab kerugian yang ditimbulkan lebih besar
dari pada keuntungannya selain itu didorong akan adanya persaingan keagamaan.
2.2 Tujuan Perkawinan
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu
mendapat pemenuhan. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain
keperluan biologisnya termasuk dalam aktivitas hidup, agar manusia menuruti
tujuan kejadianya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan
memenuhi petunjuk agama.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah.
Dari tujuan diatas, dapat dikembangkan menjadi lima yaitu :
1.
Agar dapat memperoleh keturunan.
2.
Penyaluran syahwat dan penumpahan
kasih sayang berdasarkan tanggung jawab.
3.
Memenuhi panggilan agama,
memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung
jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal.
5.
Membangun rumah tangga untuk
membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.(abdul
Rahman Ghozali, 2008; 24)
2.3 Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa
perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa
setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam
pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya
persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon
yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria
berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada
hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan
perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin
menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
2.4 Dasar-dasar perkawinan
di Indonesia
Dengan diberlakukannya UU No. 1
Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan
Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya
dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974
dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur
dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan
perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Demikian dasar hukum perkawinan di
Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a.
Buku Kompilasi Hukum Islam
b.
Buku I KUH Perdata.
c.
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.
d.
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
e.
PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974.
f.
Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam
bab ini akan di paparkan cara atau metode penulis melakukan penelitian selama
masa penelitiannya. Dalam metode penelitian perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu pendekatan penelitian, data dan sumber data, instrumen dan teknik
analisis data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitiaan ini, penulis
hanya menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengacu pada beberapa
refrensi karya tulis yang ada. Penulis tidak melakukan penelitian langsung ke
masyarakat dengan mengumpulkan data-data yang ada sebab waktu yang dimiliki
terbatas walaupun kefalidan penelitian langsung tidak diragukan lagi. Namun
paling tidak hasil penelitian dari karya tulis yang ada itu bisa dipertanggung
jawabkan.
Selain itu, penelitian yang dilakukan
berdasarkan realita yang ada di masyarakat. Data-data tersebut bisa dijumpai di
berbagai sarana informasi, seperti media cetak dan media elektronik.
3.2
Data dan Sumber Data
3.2.1
Data
Wujud
data dalam penelitian ini berupa kasus-kasus nikah antar agama yang terjadi di
Indonesia. Data yang terkumpul tidak mungkin memanipulasi karena data tersebut
di ambil dari karya tulis dan berbagai sumber berita yang sampai kepada
masyarakat. Peniliti dapat memperoleh data dari bahan jadi yang mampu dijadikan
pijakan dasar dalam penelitian.
3.2.2 Sumber Data
Seperti
yang sudah disinggung penulis di atas bahwasannya, penulis memperoleh sumber
data dari beberapa karya tulis dan berbagai media, baik itu media cetak atau
media elektronik. Yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan penelitian.
3.3
Instrumen
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa karya tulis
yang berkaitan dengan tema sebagai instrumen penelitian. Karena sebagai mana
diketahui bersama bahwa polemik nikah antar agama di Indonesia ini, belum ada
kejelasan hukum yang tegas antara memperbolehkan atau tidak mengenai hal ini.
Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis menggunakan hukum fiqh dan
aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Dalam menentukan status hukum dari
praktek nikah antar agama.
3.4 Teknik Analisis Data
Sebagaimana yang telah dikatakan penulis diatas, bahwasannya penulis
menggunakan metode kualitatif. Adapun teknik yang dilakukan dalam meneliti tema
yang telah disebutkan, yang sumber datanya merupakan karya tulis adalah sebagai
berikut:
3.4.1
Mencari karya tulis-karya tulis
yang membahas tentang tema yang diangkat,
3.4.2
Menganalisis karya-karya tulis
yang didalamnya dibahas tema yang diangkat,
3.4.3
Membandingkan berberapa karya
tulis yang membahas tema yang diangkat,
3.4.4
Mengambil kesimpulan dari berbagai
karya tulis yang diteliti.
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab
ini merupakan inti dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, karena dalam
bab ini penulis akan menguraikan pembahasan mengenai hukum perkawinan beda
agama yang masih banyak dilaksanakan oleh masyarakat dalam pandangan fiqih dan
UU No. 1/1974, faktor-faktor yang menyebabkan serta akibat yang ditimbulkan dari
pernikahan beda agama tersebut.
4.1. Perbedaan
Pendapat Hukum Kawin Antar agama
4.1.1. Nikah beda agama
dalam prespektif fiqih
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu
tahapan yang dianggap penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama
berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang
menganggapnya sebagai peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan
kematian yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Sedemikian pentingnya sehingga
semua agama mempunyai aturan tersendiri dalam melaksanakan upacara pernikahan.
Perkawinan beda agama memang sudah cukup
lama di diskusikan hingga sekarang, akan tetapi masih saja menarik perhatian
untuk di kaji dan di teliti lagi. Mayoritas ulama berpendapat mengenai hukum perkawinan
antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik. Sebagaimana di haramkannya
makan sembelihannya, begitu juga halnya mengawini wanita atheis (mulhid)
kecuali bila ia masuk islam baru dihalalkan oleh agama. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Quran
surat al-Baqarah (2) ayat 221.
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ
وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
Dalam ayat ini terdapat
keterangan, agar orang muslim selalu berhati-hati terhadap jebakan orang-orang musyrik,
yang mempunyai siasat untuk menggiring meninggalkan agama islam dengan menawari
perempuan yang cantik.
Drs. H. Mahjuddin, M.Pd.I dalam bukunya “Masailul
Fiqhiyah” mengatakan, agama islam membolehkan penganutnya yang laki-laki
mengawini perempuan Ahlul Kitab, sebagaimana halalnya memakan binatang
sembelihannya. Kebolehan ini bertujuan untuk membuat sikap toleransi terhadap
penganut agama lain, dan memungkinkan terjadinya upaya suami untuk mendidik
istrinya menganut agama islam, karena tabiatnya sebagai pemimpin dalam rumah
tangganya. Pendapat ini berdasarkan pada al-Quran ayat 5 surat al-Maidah yang
berbunyi:
الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ. وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ. وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi”.
Agama islam tidak membolehkan penganutnya yang perempuan
dikawini oleh laki-laki Ahlul Kitab, berdasarkan firman Allah ayat 10 surat
al-Mumtahanah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ
الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ. اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ
حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ
وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dari ayat ini dapat diambil keterangan salah satunya, yaitu
larangan Allah agar perempuan muslimah
tidak dikawini oleh Ahlul Kitab (orang-orang kafir), karena
dikhawatirkan akan dipengaruhi meninggalkan agamanya. Agama islam memandang pada
terlalu besar kemungkinan terjadinya hal tersebut, karena suamilah yang menjadi
pemimpin dalam rumah tangga. Tentu saja, ia akan menggunakan kewenangan
pemimpin untuk mengajak keluarganya agar menganut keyakinannya.
Yang menjadi persoalan yaitu perkawinan
antara pria muslim dengan wanita ahli kitab atau kitabiyah. Secara tekstual
memang surat al-Baqarah ayat 221 tersebut melarang perkawinan antara orang
islam dengan non islam, akan tetapi
menurut pandangan ulama pada umumnya pernikahan seorang muslim dengan kitabiyah
itu dibolehkan dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya atas dasar sikap
musyrik kitabiyah bahkan tidak sedikit para ulama yang mengharamkannya dengan
berpegang pada sad al-Dzari’ah, karena mudahnya fitnah dan mafsadat yang timbul
dari perkawinan tersebut.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya,
Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang
dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal
dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahli kitab. Sebab,
Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Bani Israil dan
dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Yusuf al-Qardhawi (Surabaya: 1996/254).
Dalam bukunya Yusuf al-Qadhawi menjelaskan bahawasannya. Dalam lawatannya ke
Eropa dan Amerika Serikat beliau berkesempatan bertemu dengan para Mahasiswa
Indonesia yang belajar disana, yang bekerja, dan ada juga yang berdiam disana.
Ada pula yang untuk menetap disana. Kebanyakan dari mereka bertanya seputar
hukum agma yaitu mengenai pernikahan dengan orang yang non-Islam, dari golongan
Ahlul Kitab, terutama wanita Yahudi dan Nasrani yang dibolehkan oleh
islam. Kedua golongan ini di beri hak
dari pada golongan lainnya. Dari sini perlu diterangkan macam golongan wanita
non-Islam, mereka terdiri dari golongan wanita musyrik, mulhidah,
murtad, dan wanita Ahli Kitab.
Pertama menikah
dengan wanita musyrik, sudah jelas bahwasannya menikah dengan wanita
musyrik itu diharamkan, karena yang
dimaksud wanita musyrik disini adalah wanita penyembah berhala. Berdasarkan
Firman Allah SWT Q.S al-Baqarah: 221. Kedua menikah dengan wanita
mulhidah. Yang dimaksud wanita mulhidah adalah wanita yang tidak beriman dengan
agama manapun. Dia tidak mengakui hal-hal yang menyangkut ketuhanan, kenabian,
kitab, dan adanya hari akhir. Hukum menikahi wanita yang demikian itu haram,
bahkan lebih keras larangannya dari pada wanita musyrik sebab wanitamusyrik
masih mempercayai adanya Tuhan. Ketiga wanita murtad, yang dimaksud wanita
murtad adalah wanita yang keluar dari agama islam, baik ia memeluk agama yang
dipindahinya itu termasuk Ahli Kitab atau di luar Ahli Kitab haram hukumnya
menikahi wanita yang demikian. Karena islam tidak pernah memaksa untuk
memeluknya, islam tidak menerima iman seseorang karena terpaksa. Akan tetapi
orang yang memeluk agama islam dengan keinginannya sendiri tanpa paksaan, ia
tidak boleh keluar dari islam. Berdasarkan Firman Allah Q.S al-Baqarah: 217. Keempat
wanita Ahli Kitab, mengenai wanita Ahli Kitab beliau sependapat dengan Jumhur
Ulama, yang membolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab. Karena Allah
menghalalkan umat islam untuk memakan binatang sembelihan mereka dan mengawini
wanita mereka. Berdasarkan firman Allah Q.S al-Maidah: 5.
Dalam kitab tafsir al-Manar di jelaskan, ulama
mempersoalkan mengenai nikah dengan wanita pengikut kitab Injil dan Taurat, yang dimaksud itu pada ahli kitab ( Nasrani
dan Yahudi) di masa Nabi mereka masih hidup serta kitabnya masih murni belum
mengalami perubahan dan penyimpangan ataukah yang dimaksud ahli kitab disini
itu para keturunan mereka serta kitabnya juga tidak murni lagi sudah mengalami
perubahan dan penyimpangan. Hal ini menunjukkan adanya dua kelompok pandangan. Kelompok
pertama berpendapat, bahwa Kitabiyah (pengikut Taurat dan Injil) halal
dinikahi meskipun sudah ada penyimpangan. Kelompok kedua berpendapat,
bahwa Kitabiyah yang boleh dinikahi adalah Kitabiyah yang keyakinannya masih
murni belum ada perubahan sebagaimana ajaran kitab yang masih murni. Sedangkan Kitabiyah
yang sudah menyimpang haram dinikahi, keharaman menikahi kitabiyah menurut
kelompok ini karena menganggapnya musyrik , dan wanita musyrik haram dinikahi.
4.1.2. Nikah beda agama dalam prespektif
UU No. 1 Tahun 1974
Keadaan masyarakat Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku, golongan, dan agama sangat memungkinkan
terjadinya perkawinan antar suku, golongan, dan agama. Terlebih lagi didaerah yang
sudah kompleks, seperti di daerah Jakarta yang menjadi Ibu Kota Indonesia
hubungan antar individu sangatlah tinggi biasanya hubungan tersebut terjadi
karena bersangkutan dengan bisnis, mereka tidak menghiraukan partner bisnisnya
itu berbeda agama dengan dirinya atau tidak seperti halnya kalangan selebriti
dalam suatu adegan film atau yang lain, tanpa disengaja akan pasti terjadi
hubungan pertemanan yang sangat tinggi di antara individu para pemain pria dan
wanita, lama kelamaan akan terjadi suatu keakraban yang kemudian menjadi cinta.
Berikut ini adalah rujukan
mengenai perkawinan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan
perkawinan antar pemeluk agama dalam
bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal
44 juga dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Kenyataan yang terjadi dalam
sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi,
karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66,
maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
dan peraturan perkawinan campuran. Dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang
dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No. 1/1974
tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 8
point (f) UU No. 1/1974 juga menyatakan: “perkawinan dilarang antara dua orang
yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku lain
dilarang kawin”
Dari ketentuan ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan
di dalam UU No. 1/1974 dan peraturan-peraturan lainnya, juga ada yang larangan
itu bersumber dari agamanya masing-masing. Oleh karena itu apabila di dalam UU
No. 1/1974 dan peraturan-peraturan lainnya tidak terdapat adanya larangan
terhadap perkawinan antar agama, maka yang menentukan ada dan tidaknya larangan
terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Dalam prakteknya perkawinan antar
agama dilakukan di Kantor Catatan Sipil, padahal sebenarnya Lembaga Catatan
Sipil tidak berwenang untuk melaksanakan perkaiwnan antar agama, terutama
apabila salah satunya beragama islam. Tetapi pada kenyataanya sebagian anggota
masyarakat kurang mau peduli dan tetap menuntu untuk dilayani dan melangsungkan
perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan
Kantor Catatan Sipil melayani mereka. Adapun proses pelaksanaan perkawinan
antar agama yang salah satu pelakunya beeragama islam adalah sebagai berikut:
1)
Kantor Catatan Sipil, sementara membuat surat penolakan kepada yang
bersangkutan untuk melangsungkan perkawianan di Kantor Catatan Sipil.
2)
Kantor Catatan Sipil membuat surat permohonan izin kepada BP4 dan KUA untuk
meberikan nasihat atas perkawinan mereka. Dan pada umumnya PB4 dan KUA akan
menolak memberikan izin kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil.
3)
Kemudian Kantor Catatan Sipil membuat surat keterangan agar mereka
mengajukan permohonan ke Pengadialan Agama (PA), dan biasanya PA menolak mereka
untuk melangsungkan perkawinan Kantor Catatan Sipil.
4)
Pada akhirnya, permohonan izin nikah ke Pengadilan Negeri (PN), dan pada
umumnya PN mengabulkan permohonan tersebut dan memerintahkan Kantor Catatan
Sipil untuk melaksanakan perkawinan antar dua orang yang berbeda agama itu.
4.2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nikah beda agama
1. Kenyataan di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri
dari bermacam–macam suku bangsa, juga adanya agama yang beraneka ragam di
Indonesia. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pergaulan sehari–hari, dalam
kehidupan bermasyarakat, bergaul begitu erat dan tidak membedakan agama yang
satu dengan yang lainnya.
2. Dengan makin majunya jaman, makin banyak anggota masyarakat yang dapat
menikmati pendidikan, dan makin banyak sekolah yang menggunakan sistem campuran
dalam seks, maupun campuran dalam hal agama, yang berarti adanya batasan agama
tertentu.
3. Makin dirasakan usang terhadap pendapat bahwa keluarga mempunyai
peranan penentu dalam pemilihan calon pasangan bagi anak–anaknya, bahwa mereka
harus kawin dengan orang yang mempunyai agama yang sama.
4. Makin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon
pasangannya, dan pemilihan tersebut berdasarkan atas cinta. Jika cinta telah
mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita, tidak jarang
pertimbangan secara matang juga termasuk menyangkut agama kurang dapat
berperan.
5. Dengan meningkatnya hubungan anak–anak muda Indonesia dengan anak–anak
muda dari manca negara, sebagai akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa,
kebudayaan, agama serta latar belakang yang berbeda hal tersebut sedikit atau
banyak ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi terjadinya perkawinan beda
agama. Sehingga bagi anak–anak muda kawin dengan agama yang berbeda seakan–akan
sudah tidak menjadi masalah lagi.
4.3. Akibat yang ditimbulkan dari nikah beda agama
Dalam kenyataanya tidak dapat dipungkiri
bahwa di Indonesia pada beberapa tahun kebelakang ini banyak sekali terjadi
perkawinan beda agama, yang di lakukan oleh kalangan selebriti tanah air.
Bahkan, seiring dengan perkembangan zaman ini, makin banyak pasangan beda agama
yang makin berani untuk menentang arus dan menikah, meskipun masih banyak
kontroversi seputar pernikahan beda agama, dan itu semua tidak akan lepas dari
permasalahan-permasalahan. Banyak sekali permasalahan yang timbul akibat dari
perkawinan tersebut.
Di antara kasus itu adalah memudarnya
rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin
kering, akibat perbedaan agama. Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran,
perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan
ternyata jarak itu tetap saja menganga. Bayangkan saja, ketika seorang suami
(yang beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika
istri dan anakanaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika
istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan
seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Begitu pun ketika Ramadhan tiba, suasana
ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu
sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang
kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama, betapa
indahnya melakukan ibadah di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya
keinginan belaka.
Ada seorang ibu yang merasa beruntung
karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa
kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman
yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah.
Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa
tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan
saling pengertian sangatlah penting terpelihara dan tumbuh dalam keluarga.
Bahwa karakter suami dan istri masing-masing
berbeda, itu suatu keniscayaan. Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas
sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar karena tidak ada manusia
di dunia ini yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Maka dari itu,
tugas yang harus dilaksanakn setiap orang yang membina keluarga yaitu, saling
mengisi dan melengkapi di antara pasangannya. Namun, untuk kehidupan keluarga
di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak
saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu
dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama. Problem
itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki
anak.
Mengenai masalah anak orang tua biasanya
berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya
Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya
memeluk Kristen. Anak baik dan terpuji, yaitu anak yang berbakti kepada kedua
orang tua. Ketika di hadapkan pada masalah yang seperti ini anak pasti bingung mana
yang harus dipilih, psikologi anak bisa saja jadi terganggu oleh permasalahan
orang tuanya. Dan anak juga yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai
suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut
menanamkan pengaruh masing-masing.
Karena agama ibarat pakaian yang digunakan
seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada
setiap individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Di sana
terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara
kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah
dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman
ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah salat berjamaah,
seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog,
tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan
religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama, kenikmatan
berkeluarga ada yang hilang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara psikologis
pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini
tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah. Namun perbedaan
agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada
suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak
jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis. Pasangan
yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya
akan berpindah agama.
Ada cerita tentang seorang suami (muslim)
yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang beragama
Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslimah. Dengan segala kesabarannya
sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih tetap kokoh dengan keyakinan
agamanya. Tapi harapannya belum juga terwujud dan bahkan perselisihan demi
perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa
kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup
dan perlahan menghilang. Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang
dicari tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang
sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi
keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas tentu
saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas menjadi
pelajaran. Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak, cinta
mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak
berbagai masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan
berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja seperti pernikahan Jamal Mirdad
dan Lidya Kandau adalah salah satu pasangan di Indonesia yang berhasil
membuktikan bahwa pernikahan bisa berlangsung dengan bahagia meskipun di
landasi oleh dua keyakinan yang berbeda.
Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika
usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya.
Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang
seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat
dirasakan oleh anak-anaknya. Mereka bingung siapa yang harus diikuti
keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan
perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama
malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
BAB V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan
ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut:
5.1.1
Agama Islam melarang pria muslim
menikah dengan wanita non islam. Yang dimaksud wanita non islam disini, yaitu wanita
Musyrik, Mulhiddah, dan Murtad. Begitu juga sebaliknya
wanita islam dilarang menikah dengan pri non islam sebab dikhawatirkan ia akan
mengajak istrinya untuk menganut kepercayaan dan keyakinannya, yang pada
dasarnya suami merupakan seorang pemimpin dalam keluarga.
5.1.2
Agama islam membolehkan pria
muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani). Yang
dimaksud Ahli Kitab disini yaitu Ahli Kitab yang keyakinannya masih murni belum
ada perubahan sebagaimana ajaran kitab yang masih murni. Sedangkan Kitabiyah
yang sudah menyimpang haram dinikahi, keharaman menikahi kitabiyah menurut
kelompok ini karena menganggapnya musyrik , dan wanita musyrik haram dinikahi.
5.1.3
Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur
tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak
dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.
5.1.4
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam
yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan
solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama
dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya
instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri
tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
5.2 Saran
Dengan
adanya penjelasan mengenai perkawinan beda agama di atas, maka diharapkan
supaya masyarakat tidak melakukannya terutama orang islam. Dalam islam dilarang
menikah dengan orang non islam, kecuali dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
yang masih murni ajaran kitabnya belum mengalami perubahan.
Selain
itu juga, yang menyebabkan perkawinan beda agama itu tidak diperbolehkan adalah
karena madlarat/kerugian yang ditimbulkan akibat perkwinan tersebut lebih
banyak dari manfaatnya/keuntungannya. Dan juga belum adanya undang-undang yang
secara tegas mengatur perkawinan tersebut, sehingga masih banyak masyarakat
yang melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Mahjuddin,
2007, Masailul Fiqhiyah, berbagai kasus yang dihadapi hukum islam
masa kini, Jakarta: Kalam Mulia.
M.
Situmorang, Victor dan Sitanggang, Cormentyna, 1996, Aspek Hukum Akta
Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Qardhawi,
Yusuf, 1996, Problematika Islam Masa Kini, Bandung: Trigenda Karya.
Qardhawi,
Yusuf, 1996, Fatawa Qardhawi Permasalahan Pemecahan dan Hikmah, Surabaya:
Risalah Gusti.
Wasman
dan Nuroniyah, Wardah, 2011, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Perbandingan
Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta: Teras.
http://www.haifren.com/lifestyle/askep/ilmu-komunikasi/pernikahan-beda-agama
www.uinjkt.ac.id