Rabu, 01 Agustus 2012

KERJASAMA PELAKU TINDAK PIDANA (JARIMAH)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama[1].
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kerjasama jarimah?
2.      Apa saja bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama jarimah?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian kerjasama jarimah
2.      Mengetahui bentuk-bentuk pelaksanaan jarimah

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Kerjasama Jarimah
            Tindak pidana, al-jarimah, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya pula oleh beberapa orang yang masing-masing ikut andil dalam melaksanakannya. Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.       Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.      Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.       Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah )
d.      Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat[2].

Dari bentuk-bentuk kerjasama di atas, dapat dikemukakan 2 syarat umum tindakan jarimah yang harus terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturut-sertaan secara langsung atau tidak langsung.
Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman jika melanggarnya. Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah keturut-sertaan[3].
2.      Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah

Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir)[4].

a.      Keikutsertaan Langsung, mubasyir
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a.       Tawafuq (kebetulan)
b.      Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)
Mayoritas fuqaha membedakan antara tanggung jawab pelaku-langsung pada kasus kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada kasus “kebetulan”, setiap pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul seseorang. Salah satu di antar dua orang ini memotong tangannya, sedangkan yang lain memotong lehernya. Orang pertama bertanggungjawab atas pemotongan, sedangkan orang kedua bertanggungjawab atas pembunuhan. Pidana semacam ini adalah kasus pidana yang direncanakan; mereka berdua sama-sama bertanggungjawab atas pembunuhan itu[5].
Sedangkan tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba[6]. Hal ini yang terjadi pada kasus kerusuhan spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dan melakukannya berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara spontanitas. Karena itu, mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya, tanpa harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain[7].
Dalam kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara tawafuq dan tamalu’. Menurutnya, hukum pada kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah pelaku atas perbuatannya sendiri. Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di atas, yang satu dipersalahkan karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi dipersalahkan karena berbuat rusuh. Sedang Imam madzhab yang lainnya membedakan antara tawafuq dan tamalu’ sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya[8]. Akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil pendapat Imam Abu Hanifah[9].

b.   Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan[10].
 Adapun unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
  • Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum.
  • Unsur kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu[11].
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, pada dasarnya, kaidah hukum Islam menetapkan hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak pidana hudud dan qishash, dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada pelaku tidak langsung. Berdasarkan prinsip tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak pidana hudud dan qishash tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk keturut-sertaannya. Dalam hal ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak pidana hudud dan qishash adalah karena umumnya hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat dan keturut-sertaan tidak langsung si pelaku tidak dianggap syubhat yang menolak yang menolak hukuman hudud atasnya. Juga karena pelaku tidak-langsung pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih sedikit bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak sama[12].

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.       Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.      Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.       Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d.      Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat.
Sedangkan bentuk-bentuk pelaksanaanya terdapat dua macam; langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
c.       Tawafuq (kebetulan)
d.      Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.


REFERENSI
Ahmad Zaki Yamani, 1996. Syariat Islam yang Kekal & Persoalan Masa Kini. Jakarta: PT. Intermasa.
Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Rizqi Ibrahim, 1996. Qira’at fi ilm nafsi al-jina’i. Beirut: Dar an-Nahdah
Jundy Abdul Malik, tt. al-Maushu’ah al-Jina’i. Beirut: Dar an-Nahdhah
Muhammad Abdul Jawad Muhammad,1870. Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun . Mesir: Dar al-Kutub
Al-Mawardi, 1987. al-Ahkam as-Sulthaniyah. Kairo: dar an-Nahdhah
Muhammad Abdullah bin Quddamah, tt. al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy. Mesir: Al-Manar
Yusuf Qasim, 1981. Nadhariyyah adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam al-Wadh’i. Kairo: Dar an-Nahdhah
Terance D. Miethe, 2005 Punishment: A Comparative Historical Perspective. USA: Cambridge University Press
Yusuf Qardhawi, 1960. Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Dunia Ilmu
Alie Yafie, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT. Kharisma Ilmu


[1] Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Kekal & Persoalan Masa Kini (Jakarta: PT. Intermasa. 1996) hal. 70
[2] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
[3] Rizqi Ibrahim, Qira’at fi ilm nafsi al-jina’i (Beirut: Dar an-Nahdah. 1996), hal. 11-12
[4]Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
[5] Jundy Abdul Malik, al-Maushu’ah al-Jina’i (Beirut: Dar an-Nahdhah. tt) vol.5, hal. 145
[6] Muhammad Abdul Jawad Muhammad, Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun (Mesir: Dar al-Kutub), hal.  55
[7] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah (Kairo: dar an-Nahdhah. 1987) hal. 120
[8] Muhammad Abdullah bin Quddamah, al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy (Mesir: Al-Manar. tt) vol. 9 hal. 399
[9] Yusuf Qasim, Nadhariyyah adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam al-Wadh’i (Kairo: Dar an-Nahdhah. 1981) hal. 89
[10] Terance D. Miethe, Punishment: A Comparative Historical Perspective (USA: Cambridge University Press. 2005) hal. 23
[11] Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu. 1990) hal. 160
[12] Alie Yafie, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Bogor: PT. Kharisma Ilmu. 2000) hal. 38

MUT'AH PASCA CERAI


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Mut’ah (المتعة) secara bahasa artinya adalah kesenangan, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.[1] Pendapat lain dikatakan bahwa mut’ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.[2]

B.     Pendapat ulama dan Undang-undang’ tentang mut’ah
1.      Dari segi hukum mut’ah
Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Al-Ahzab: 49)
Segolongan fuqaha berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah. [3] Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat 236 surat Al-Baqarah:
 حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ  
“Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” [4]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai sebelum digauli. Sebagaimana firman Allah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”(al-Baqarah:236)
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami tidak wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya, karena isteri telah mendapat mahar. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerai, karena Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (QS. al-Ahzab: 28).

Dalam qaul qadim  tersebut, Imam Syafi’i menggunakan logika sebagai argumennya, sedangkan dalam qaul jadid, beliau menggunakan al-Qur’an sebagai argumennya, yaitu QS. al-Ahzab: 28.[5]

Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk setiap istri yang dicerai. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah: 241, yang berbunyi:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”[6]



2.      Dari segi jenis talak
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut'ah itu wajib hukumnya untuk semua isteri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis maharnya dan perceraiannya.
Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya dan diceraikan sebelum digauli.[7]
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut’ah itu kepada keumumannya. Memberi mut'ah itu hukumnya wajib, baik yang terjadi itu adalah talak raj'iy, talak bâ`in maupun karena kematian salah satunya, sebelum dukhul atau setelahnya, pernah disebutkan secara jelas sebelumnya atau tidak.[8]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan mahar.[9]
Dijelaskan kembali dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 bahwasanya, bagi perempuan yang dicerai sebelum dicampuri, atau sebelum ditentukan maharnya, hendaklah para suami mereka memberikan mut’ah kepada mereka sesuai dengan kemampuannya. Kemudian, dijelaskan lagi dalam ayat 241 bahwasanya, bagi wanita-wanita yang dicerai, hendaklah suaminya memberikan mut’ah. Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara khusus mengenai isteri-isteri yang bagaimana yang akan diberi mut’ah oleh suaminya, artinya ayat ini menyebutkan bahwa semua wanita yang dicerai diberikan mut’ah oleh suaminya. Dalam Shofwat at-Tafaasir  dijelaskan bahwa dalam ayat ini suami wajib memberikan mut’ah  kepada isterinya sesuai kadar kemampuannya, hal ini merupakan kewajiban bagi orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah.[10]
Dari kedua ayat ini  muncullah perbedaan dikalangan para ulama’, sebagian berpendapat bahwa yang dibayar mut’ahnya hanya isteri yang belum dicampuri saja, sedangkan isteri yang sudah dicampuri, apalagi sudah dibayar maharnya, maka hukumnya hanya sunnah saja.[11] Namun dalam surat al-Ahzab ayat 28, dijelaskan tentang kisah Rasulullah yang diperintah untuk menyampaikan kepada isteri-isterinya, bahwa mereka disuruh untuk memilih  apakah mereka menginginkan dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah dengan hidup apa adanya. Kalau mereka memilih bercerai, maka Rasulullah akan menceraikan mereka dan akan diberi mut’ah sebagai pengobat hati.
3.      Dari Segi Jumlahnya
Sementara tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan itu, dijelaskan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 236 (di atas). Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah "kepatutan". Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut". Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup "cukup" atau (apalagi) "mewah" dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya "sedikit". Sebabnya, seperti dikatakan al-Kasaniy,  karena mut'ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari "kemaluannya". Oleh karena itu, keadaan si isteri lah yang jadi pedoman dalam penentuan mut'ah itu. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. [12]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 160 dijelaskan bahwa jumlah mu’tah yang diberikan kepada seorang istri oleh si suami didasarkan kepada kepatutan dan kemampuan si suami. Maka karena itu, keadaan ekonomi dan sosial suami amat menentukan terhadap besarnya mut’ah.

4.      Mut’ah dalam Undang-undang
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.[13] Sebagaimana bunyi pasalnya:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau mennetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”[14]
Di samping UU tersebut, KHI juga mengatur masalah mut’ah, diantaranya:
Pasal 158:
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.                   Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul
b.                  Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159:
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[15]

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.



BAB  IV
KESIMPULAN
pengertian mut’ah secara bahasa adalah kesenangan. sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.  Hal ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41. Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli. Sedangkan Segolongan fuqaha berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah.
Mut’ah memang diberikan kepada perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Namun tidak semua perempuan yang dicerai memperoleh mut’ah. Imam Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya dan diceraikan sebelum digauli. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah.
Mengenai jumlah mut’ah disesuaikan dengan kemampuan suami dan kepatutan terhadap kebiasaan dan kondisi istri. Jadi bentuk atau jumlah mut’ah bisa dikatakan patut jika sudah patut dengan tiga kepatutan yang sudah disebut. Karena nash tidak pernah mengaturnya.

DARTAR PUSTAKA

Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, 1982, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i', Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy
Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah
Ali as-Shobuni, 2011, Shafwat at-Tafaasir, Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah
A.W. Munawwir, 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif
Hadikusuma, H. Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju
Hamka, 2004, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas
Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, 2002, Bidayatul Mujtahid juz II, Jakarta: Pustaka Amani
Mubarok, Jaih, 2002, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Naruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Kencana
____________2007, Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika
Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Graha Pustaka


[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hal. 1307
[2] Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2007) hal. 179
[3] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[4] Ibid, hal. 624
[5] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 269
[6] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[7] Ibid, hal. 623
[8] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tanpa thn), hal. 245
[9]  Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 623
[10] Syaikh Muh. Ali as;Shobuni, Shafwat at-Tafaasir, (Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah, 2011), hal. 130
[11] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hal. 340
[12] Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i', (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), Juz 2, h. 304
[13] Dr. Amiur Naruddin, MA & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004) hal. 255
[14] Undang-undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 13
[15] Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Graha Pustaka, tanpa tahun) hal. 184