Rabu, 01 Agustus 2012

KERJASAMA PELAKU TINDAK PIDANA (JARIMAH)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama[1].
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kerjasama jarimah?
2.      Apa saja bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama jarimah?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian kerjasama jarimah
2.      Mengetahui bentuk-bentuk pelaksanaan jarimah

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Kerjasama Jarimah
            Tindak pidana, al-jarimah, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya pula oleh beberapa orang yang masing-masing ikut andil dalam melaksanakannya. Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.       Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.      Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.       Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah )
d.      Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat[2].

Dari bentuk-bentuk kerjasama di atas, dapat dikemukakan 2 syarat umum tindakan jarimah yang harus terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturut-sertaan secara langsung atau tidak langsung.
Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman jika melanggarnya. Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah keturut-sertaan[3].
2.      Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah

Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir)[4].

a.      Keikutsertaan Langsung, mubasyir
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a.       Tawafuq (kebetulan)
b.      Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)
Mayoritas fuqaha membedakan antara tanggung jawab pelaku-langsung pada kasus kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada kasus “kebetulan”, setiap pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul seseorang. Salah satu di antar dua orang ini memotong tangannya, sedangkan yang lain memotong lehernya. Orang pertama bertanggungjawab atas pemotongan, sedangkan orang kedua bertanggungjawab atas pembunuhan. Pidana semacam ini adalah kasus pidana yang direncanakan; mereka berdua sama-sama bertanggungjawab atas pembunuhan itu[5].
Sedangkan tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba[6]. Hal ini yang terjadi pada kasus kerusuhan spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dan melakukannya berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara spontanitas. Karena itu, mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya, tanpa harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain[7].
Dalam kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara tawafuq dan tamalu’. Menurutnya, hukum pada kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah pelaku atas perbuatannya sendiri. Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di atas, yang satu dipersalahkan karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi dipersalahkan karena berbuat rusuh. Sedang Imam madzhab yang lainnya membedakan antara tawafuq dan tamalu’ sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya[8]. Akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil pendapat Imam Abu Hanifah[9].

b.   Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan[10].
 Adapun unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
  • Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum.
  • Unsur kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu[11].
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, pada dasarnya, kaidah hukum Islam menetapkan hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak pidana hudud dan qishash, dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada pelaku tidak langsung. Berdasarkan prinsip tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak pidana hudud dan qishash tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk keturut-sertaannya. Dalam hal ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak pidana hudud dan qishash adalah karena umumnya hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat dan keturut-sertaan tidak langsung si pelaku tidak dianggap syubhat yang menolak yang menolak hukuman hudud atasnya. Juga karena pelaku tidak-langsung pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih sedikit bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak sama[12].

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.       Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.      Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.       Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d.      Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat.
Sedangkan bentuk-bentuk pelaksanaanya terdapat dua macam; langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
c.       Tawafuq (kebetulan)
d.      Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.


REFERENSI
Ahmad Zaki Yamani, 1996. Syariat Islam yang Kekal & Persoalan Masa Kini. Jakarta: PT. Intermasa.
Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Rizqi Ibrahim, 1996. Qira’at fi ilm nafsi al-jina’i. Beirut: Dar an-Nahdah
Jundy Abdul Malik, tt. al-Maushu’ah al-Jina’i. Beirut: Dar an-Nahdhah
Muhammad Abdul Jawad Muhammad,1870. Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun . Mesir: Dar al-Kutub
Al-Mawardi, 1987. al-Ahkam as-Sulthaniyah. Kairo: dar an-Nahdhah
Muhammad Abdullah bin Quddamah, tt. al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy. Mesir: Al-Manar
Yusuf Qasim, 1981. Nadhariyyah adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam al-Wadh’i. Kairo: Dar an-Nahdhah
Terance D. Miethe, 2005 Punishment: A Comparative Historical Perspective. USA: Cambridge University Press
Yusuf Qardhawi, 1960. Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Dunia Ilmu
Alie Yafie, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT. Kharisma Ilmu


[1] Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Kekal & Persoalan Masa Kini (Jakarta: PT. Intermasa. 1996) hal. 70
[2] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
[3] Rizqi Ibrahim, Qira’at fi ilm nafsi al-jina’i (Beirut: Dar an-Nahdah. 1996), hal. 11-12
[4]Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
[5] Jundy Abdul Malik, al-Maushu’ah al-Jina’i (Beirut: Dar an-Nahdhah. tt) vol.5, hal. 145
[6] Muhammad Abdul Jawad Muhammad, Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun (Mesir: Dar al-Kutub), hal.  55
[7] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah (Kairo: dar an-Nahdhah. 1987) hal. 120
[8] Muhammad Abdullah bin Quddamah, al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy (Mesir: Al-Manar. tt) vol. 9 hal. 399
[9] Yusuf Qasim, Nadhariyyah adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam al-Wadh’i (Kairo: Dar an-Nahdhah. 1981) hal. 89
[10] Terance D. Miethe, Punishment: A Comparative Historical Perspective (USA: Cambridge University Press. 2005) hal. 23
[11] Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu. 1990) hal. 160
[12] Alie Yafie, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Bogor: PT. Kharisma Ilmu. 2000) hal. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar