BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia hidup saling membutuhkan antara satu
dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama
tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang
terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan
pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh
sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan
bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian
nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama[1].
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama[1].
Norma-norma ataupun aturan
tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat
sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi
hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia
ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat
inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh
antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan
beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang
individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian kerjasama jarimah?
2.
Apa saja bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama jarimah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian kerjasama jarimah
2.
Mengetahui bentuk-bentuk pelaksanaan jarimah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kerjasama Jarimah
Tindak
pidana, al-jarimah, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya
pula oleh beberapa orang yang masing-masing ikut andil dalam melaksanakannya.
Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.
Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku
ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.
Pelaku
mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.
Pelaku
menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah )
d.
Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan
untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat[2].
Dari bentuk-bentuk kerjasama di atas, dapat dikemukakan 2
syarat umum tindakan jarimah yang harus terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika
pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturut-sertaan secara langsung atau
tidak langsung.
Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan
yang dilarang yang dijatuhi hukuman jika melanggarnya. Jika tidak termasuk
dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak masuk dalam perkara
pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah keturut-sertaan[3].
2. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah
Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para
ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (mubasyir) dan tidak
langsung (ghayr mubasyir)[4].
a. Keikutsertaan Langsung, mubasyir
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang
melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini
diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a. Tawafuq (kebetulan)
b. Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan
sebelumnya)
Mayoritas fuqaha membedakan antara tanggung jawab
pelaku-langsung pada kasus kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah
direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada kasus “kebetulan”, setiap
pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya dan tidak
bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul
seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul seseorang. Salah satu di
antar dua orang ini memotong tangannya, sedangkan yang lain memotong lehernya.
Orang pertama bertanggungjawab atas pemotongan, sedangkan orang kedua
bertanggungjawab atas pembunuhan. Pidana semacam ini adalah kasus pidana yang
direncanakan; mereka berdua sama-sama bertanggungjawab atas pembunuhan itu[5].
Sedangkan tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan
oleh beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa
kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan
pemikiran yang datang secara tiba-tiba[6]. Hal ini yang terjadi pada kasus kerusuhan
spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada kesepakatan terlebih
dahulu dan melakukannya berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara
spontanitas. Karena itu, mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya, tanpa
harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain[7].
Dalam kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak
membedakan antara tawafuq dan tamalu’. Menurutnya, hukum pada
kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah pelaku atas perbuatannya sendiri.
Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di atas, yang satu dipersalahkan
karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi dipersalahkan karena berbuat
rusuh. Sedang Imam madzhab yang lainnya membedakan antara tawafuq dan tamalu’
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya[8].
Akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil pendapat Imam Abu
Hanifah[9].
b. Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang
dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam
perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh
serta memberi bantuan[10].
Adapun
unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
- Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum.
- Unsur kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu[11].
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak
langsung, pada dasarnya, kaidah hukum Islam menetapkan hukuman-hukuman yang
jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak pidana hudud dan qishash,
dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada pelaku tidak
langsung. Berdasarkan prinsip tersebut, siapa saja yang turut serta dalam
tindak pidana hudud dan qishash tidak dijatuhi hukuman yang
telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk keturut-sertaannya. Dalam hal
ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak
pidana hudud dan qishash adalah karena umumnya hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya
itu sangat berat dan keturut-sertaan tidak langsung si pelaku tidak dianggap
syubhat yang menolak yang menolak hukuman hudud atasnya. Juga karena pelaku
tidak-langsung pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih sedikit
bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak
sama[12].
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.
Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku
ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.
Pelaku
mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.
Pelaku
menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d.
Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan
untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat.
Sedangkan bentuk-bentuk pelaksanaanya terdapat dua macam;
langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang
melakukan tindak pidana melebihi satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini
diklasifikasikan menjadi dua bagian:
c. Tawafuq (kebetulan)
d. Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan
sebelumnya)
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang
yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam
perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh
serta memberi bantuan.
REFERENSI
Ahmad Zaki Yamani, 1996. Syariat Islam yang Kekal & Persoalan Masa Kini. Jakarta: PT.
Intermasa.
Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana
Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Rizqi Ibrahim, 1996. Qira’at fi ilm nafsi al-jina’i. Beirut: Dar an-Nahdah
Jundy Abdul Malik, tt. al-Maushu’ah
al-Jina’i. Beirut: Dar an-Nahdhah
Muhammad Abdul Jawad Muhammad,1870. Buhuts
fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun . Mesir: Dar al-Kutub
Al-Mawardi, 1987. al-Ahkam as-Sulthaniyah. Kairo:
dar an-Nahdhah
Muhammad Abdullah bin Quddamah, tt. al-Mughni
ala mukhtasar al-Kharaqy. Mesir: Al-Manar
Yusuf Qasim, 1981. Nadhariyyah
adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam al-Wadh’i. Kairo: Dar
an-Nahdhah
Terance D. Miethe, 2005 Punishment: A Comparative
Historical Perspective. USA: Cambridge University Press
Yusuf Qardhawi, 1960. Membumikan Syariat
Islam. Surabaya: Dunia Ilmu
Alie Yafie, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT. Kharisma Ilmu
[1]
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Kekal & Persoalan
Masa Kini (Jakarta: PT. Intermasa. 1996) hal. 70
[2]
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang.
2005), hal. 95
[4]Ahmad
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005),
hal. 95
[6] Muhammad
Abdul Jawad Muhammad, Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun (Mesir:
Dar al-Kutub), hal. 55
[8] Muhammad
Abdullah bin Quddamah, al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy (Mesir:
Al-Manar. tt) vol. 9 hal. 399
[9]
Yusuf Qasim, Nadhariyyah adl-Dharuriyyah fi al-fiqh al-jina’i al-Islam
al-Wadh’i (Kairo: Dar an-Nahdhah. 1981) hal. 89
[10] Terance D.
Miethe, Punishment: A Comparative Historical Perspective (USA: Cambridge
University Press. 2005) hal. 23
[12]
Alie Yafie, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Bogor:
PT. Kharisma Ilmu. 2000) hal. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar