Rabu, 01 Agustus 2012

KAFARAT ORANG MENZIHAR ISTRINYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu subsistem kehidupan beragama, yang merupakan sebuah proses berlangsungnya hidup manusia untuk meneruskan keturunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis, karena keluarga merupakan dasar pembentukan kelompok dalam masyarakat hingga akhirnya membentuk suatu bangsa dan negara dalam lingkup yang lebih besar. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama bagi yang mampu melakukannya, dimana akan terjadi suatu ikatan yang sakral, yaitu  akad nikah antara laki-laki dan perempuan yang nantinya akan merubah status mereka menjadi pasangan suami istri.
Untuk menjaga hubungan keluarga agar tidak terlalu rusak dan berpecah-belah, agama Islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar terakhir bagi suami istri yang telah gagal mendayungkan bahtera keluarganya, sehingga dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya, antara keluarga kedua belah pihak dan juga dengan sekeliling tetap berjalan dengan baik. Meskipun begitu, perlu dinyatakan bahwa dengan mensyariatkan perceraian dalam suatu perkawinan, bukan berarti bahwa agama Islam menyukainya. Maka dari itu agama islam mempunyai prinsip mempersulit untuk terjadinya perpisahan/perceraian, karena Allah telah mengatakan bahwa perkara halal yang paling Dia benci adalah thalaq.
Dalam makalah ini akan dijelaskan isi kandungan dari surat al-Mujadalah ayat 4, yaitu mengenai kewajiban seorang suami untuk membayar kafarat karena telah mezihar istrinya. Bentuk kafarat sendiri bermacam-macam sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir. Kafarat zihar tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama yang harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu, baru berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup berpuasa dua bulan berturut- turut, barulah boleh member makanan 60 orang miskin (sekali makan).

B.        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kandungan surat al-Mujadalah ayat 4?
2.      Bagaimana tafsir surat al-Mujadalah ayat 4?
3.      Apa saja hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4?

C.       Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui kandungan surat al-Mujadalah ayat 4.
2.      Untuk mengetahui tafsir surat al-Mujadalah ayat 4.
3.      Untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Kandungan surat al-Mujadalah ayat 4

فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya:
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.[1]
Zihar asal kata dari al-zahr “punggung” merupakan salah satu bentuk talaq di zaman jahiliyah. Jika seorang suami benci terhadap istrinya, sedangkan sang suami tidak ingin istrinya ini kawin dengan orang lain, maka ia menzihar istrinya dengan mengatakan : “Bagi saya kamu seperti punggung ibuku.” Dengan ungkapan ini, di zaman jahiliyah istri tersebut tidak boleh digauli, statusnya tidak cerai dan juga tidak bersuami lagi, namun istri ini tetap tidak boleh kawin dengan lelaki lain. Kemudian datang Islam mengubah hukum zihar ini. Zihar berlaku untuk setiap istri, baik yang telah disetubuhi maupun yang belum, bagaimanapun keadaan istri tersebut asalkan ia dapat dijatuhi talaq.[2]
Diriwayatkan oleh Al-Hakim bersumber dari Aisyah yang berkata: Sesungguhnya saya pernah mendengar Khaulah Binti Tsa’labah yang mengadukan suaminya (Aus bin Shamit) kepada Rasulullah SAW tetapi saya tidak mendengar pengaduannya itu seluruhnya. Dia berkata “Masa mudaku telah berlalu, perutku sudah keriput sehingga ketika saya telah tua bangka dan tak akan dapat melahirkan seorang bayi lagi, suamiku telah menziharku. Ya Allah aku mengadu kepada-Mu. Lalu Allah mendengar pengaduan wanita tersebut kemudian turun ayat larangan zihar.[3]
Kepada Haulah, Nabi bersabda: “Sesungguhnya ia memerdekakan budak”. Haulah menjawab: “Ia tidak punya”. Nabi bersabda lagi: “Suruh ia berpuasa dua bulan berturut-turut”. Haulah menjawab: “Ya Rasulallah, ia sudah tua, tidak kuat berpuasa”. Nabi bersabda lagi: “Suruh ia memberi makan 60 fakir miskin”. Haulah menjawab: “Ia tidak punya apa-apa untuk disedekahkan”.  Nabi bersabda: “Saya akan membantunya dengan sebakul kurma”. Kata Nabi: “Bagus, berikan kepada 60 orang fakir miskin kemudian kembalilah engkau kepada anak pamanmu (suaminya)”.[4]
Dalam surat al-Mujadalah ayat 4 diterangkan syarat-syarat bagi suami istri dapat bercampur atau melaksanakan perkawinan kembali jika mereka telah bercerai, yaitu pihak suami wajib membayar kafarat. Kewajiban membayar kafarat itu disebabkan setelah terjadinya zihar dan telah adanya kehendak suami untuk kembali mencampuri istrinya ('aud).
Imam Syafi’i berkata, “Orang yang menzhihar dan tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan, dan tidak mampuh berpuasa berturur-turut, baik karena sakit atau sebab yang lain, maka dia boleh membayar kafarat dengan memberi makan 60 orang miskin.”
Imam Syafi’I melanjutkan, “Orang menzhihar tidak boleh memberi makan kepada kurang dari 60 orang miskin. Setiap orang miskin harus diberi satu mud makana pokok daerah tempat dia tinggal.
Kafarat suami yang menzhihar istinya itu sebenarnya ada tiga tahapan. Yang pertama telah dijelaskan dalam surat al-Mujadalah 3, yaitu memerdekakan budak,  sedangkan dalam surat al-Mujadalah 4 itu disebutkan dua tahapan dalam membayar kafarat. Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari puasa yang akan dilakukan itu.
Hal ini berarti jika ada yang lowong atau tidak berturut-turut seperti puasa sehari atau lebih kemudian tidak puasa pada hari yang lain dalam masa dua bulan itu, maka puasa itu tidak dapat dijadikan kafarat, walaupun tidak berpuasa itu disebabkan safar atau sakit. Puasa itu dilakukan sebelum melakukan persetubuhan. Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.[5]
Seandainya seoarang suami membayar kafarat zhihar dengan cara memberi makan kepada tiga puluh orang miskin, masing-masing sebanyak dua mud, dalam sehari atau dalam beberapa hari, maka tetap yang dihitung tetap tiga puluh orang, dan sisanya dianggap sedeakah. Karena Allah SWT mewajibkan dia untuk memberi makan 60 orang miskin, ini artinya masing-masing orang miskin mendapat satu mud.
Juga tidak cukup dengan cara memberikan uang seharga makanan meskipun jumlahnya berlipat ganda. Dia harus memberi mereka satu mud makanan untuk tiap orang.dia juga tidak boleh membayar kafarat dengan cara membayar kafarat dengan seharga makanan yang harus diberikan.[6]

2.      Tafsir surat al-Mujadalah 4
Firman Allah SWT ( فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ ) “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut orang yang tidak mampu membayar kafarat zhihar dengan memerdekakan budak, diperboleh untuk membayar kafarat zhihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, karena sesungguhnya itu yang harus dikerjakan ketika tidak mampu membayar kafarat dengan memerdekakan budak, ini untuk menjaga kehormatan istri.
Berpindahnya kafarat tersebut karena adanya kesulitan dengan  bersabar menahan kelezatan makan dan minum untuk sesuatu yang diwajibkan karena zihar. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakteknya, membayar kafarat dengan bepuasa itu adalah tingkatan kafarat yang normor dua dari pada memerdekakan budak.[7]
Adapun pengertian ayat, ( مِنْ قَبْلِ أَنْ يَّتَمَاسَّا ) “ sebelum kedua suami istri itu berhubungan” adalah waktu bagi suami untuk membayar kafarat sebelum dia berhubungan badan dengan istrinya. Jika hubungan badan itu dilakukan sebelum suami membayar kafarat maka tenggat waktu tersebut habis, namun dia tetep harus membayar kafarat tanpa harus menambah jumlahnya. Hal ini seperti kasus seorang yang memerintah, kerjakan shalat pada waktunya. Kemudian waktu yang ditentukan habis, namun dia tetap harus melaksanakannya karena shalat itu wajib. Jika ia tidak dapat shalat pada waktunya, dia bisa melakukan pada waktu yang lain, dan tidak perlu menambah jumlah rakaat shalatnya karena keterlambatan tersebut.[8]
Maksud dari ayat, ( فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنَا ) “Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin”. Allah SWT menjelaskan siapa saja di antara kalian yang tidak mampu membyar kafarat zhihar dengan berpuasa, maka wajib atasnya meberi makan enam puluh orang miskin. Mengenai bentuk makanan sudah dijelaskan dalam pembahsan yang terdahulu.
Ayat selanjutnya, ( ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ) “Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Hukuman ini diwajibkan bagi orang yang zihar, diwajibkan membayar kafarat dengan memerdekakan budak jika ia mampu, lalu mendapat dispensasi jika ia tidak mampu maka dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika masih tidak mampu juga maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Dan ini merupakan bentuk dari pengakuan manusia atas ketauhidan Allah dan risalah Nabi Muhammad SAW. Dengan membenarkan tentang hal tersebut, dan mengerjakannya, serta mencegah perkataan yang palsu dan bohong. [9]
Sedangkan maksud ayat, ( وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ ) “Dan itulah hukum-hukum Allah”. Yakni berbagai hal yang telah diharamkan-Nya. Oleh karenanya jangan sampai kalian melanggarnya.
Dan penjelasan ayat selanjutnya ( وَلِلْكَافِرِيْنَ عَذَابٌ أَلِيْمٌ ) “Dan bagi orang-orang kafir ada siksaaan yang sangat pedih”. Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak menjalankan berbagai hukum syari’at ini serta mereka tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari berbagai musibah. Tidaklah demikian, sesungguhnya peristiwa yang akan terjadi tidak seperti yang mereka kira, tetapi mereka mendapatkan adzab yang pedih di dunia dan akhirat.[10]

3.      Hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4
Mengenai kafarat dari orang menzhihar istrinya dalam surat al-Mujadalah ayat 4 tersebut dapat di ambil hukum:
1.      Wajib bagi seorang suami yang menzhihar istrinya membayar kafarat dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, jika suami tidak mampu untuk memerdekakan budak, sebelum kedua suami istri tersebut berhubungan badan. Dilarang seorang suami melakukan hubungan suami istri sebelum mebayar kafarat itu hukumnya adalah haram. Dan suami tetap wajib membayar kafarat sekalipun dia telah menggar hal tersebut.
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَّتَمَاسَّ
2.      Dan jika suami tidak mampu untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turur, maka dia wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang dari enam puluh. Setiap orang medapatkan bagian satu mud.
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنَا
3.      Kafarat zihar tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama yang harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu, baru berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup berpuasa dua bulan berturut- turut, barulah boleh memberi makanan 60 orang miskin (sekali makan). Dan ini merupakan bentuk dari pengakuan manusia atas ketauhidan Allah dan risalah Nabi Muhammad SAW.
ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ
BAB III
SIMPULAN

1.      Kandungan yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4, yaitu Apabila seorang suami men-zihar istrinya, maka ia tidak boleh menggauli istrinya tersebut sebelum membayar kafarat (denda) zihar. Ayat diatas menunjukkan bahwa zihar yang sah itu hanyalah dari pihak suami, bukan dari pihak istri.
2.      Tafsir yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4 adalah kafarat yang harus di bayar oleh suami karena telah menzhihar istrinya, yaitu berpuasa selam dua bulan berturut-turut dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin masing-masing medapatkan bagian satu mud.
3.      Hukum yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4 yaitu, wajib bagi suami yang menzhihar istrinya untuk membayar kafarat dengan berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar