BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkawinan
adalah salah
satu subsistem kehidupan beragama, yang merupakan sebuah proses berlangsungnya
hidup manusia untuk meneruskan keturunan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis, karena
keluarga merupakan dasar pembentukan kelompok dalam masyarakat hingga akhirnya
membentuk suatu bangsa dan negara dalam lingkup yang lebih besar. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama bagi yang mampu
melakukannya, dimana akan terjadi suatu ikatan yang sakral, yaitu akad nikah antara laki-laki dan perempuan
yang nantinya akan merubah status mereka menjadi pasangan suami istri.
Untuk
menjaga hubungan keluarga agar tidak terlalu rusak dan berpecah-belah, agama Islam
mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar terakhir bagi suami istri yang
telah gagal mendayungkan bahtera keluarganya, sehingga dengan demikian hubungan
antara orang tua dengan anak-anaknya, antara keluarga kedua belah pihak dan
juga dengan sekeliling tetap berjalan dengan baik. Meskipun begitu, perlu
dinyatakan bahwa dengan mensyariatkan perceraian dalam suatu perkawinan, bukan
berarti bahwa agama Islam menyukainya. Maka
dari itu agama islam mempunyai prinsip mempersulit untuk terjadinya
perpisahan/perceraian, karena Allah telah mengatakan bahwa perkara halal yang
paling Dia benci adalah thalaq.
Dalam makalah ini akan dijelaskan isi kandungan dari surat
al-Mujadalah ayat 4, yaitu mengenai kewajiban seorang suami untuk membayar
kafarat karena telah mezihar istrinya. Bentuk kafarat sendiri bermacam-macam
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir. Kafarat zihar
tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama yang
harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu, baru
berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup berpuasa
dua bulan berturut- turut, barulah boleh member makanan 60 orang miskin (sekali
makan).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kandungan surat al-Mujadalah ayat 4?
2.
Bagaimana
tafsir surat al-Mujadalah ayat 4?
3.
Apa
saja hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui kandungan surat al-Mujadalah ayat 4.
2.
Untuk
mengetahui tafsir surat al-Mujadalah ayat 4.
3.
Untuk
mengetahui hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kandungan surat al-Mujadalah ayat 4
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.[1]
Zihar
asal kata dari al-zahr “punggung” merupakan salah satu bentuk talaq di
zaman jahiliyah. Jika seorang suami benci terhadap istrinya, sedangkan sang
suami tidak ingin istrinya ini kawin dengan orang lain, maka ia menzihar
istrinya dengan mengatakan : “Bagi saya kamu seperti punggung ibuku.” Dengan
ungkapan ini, di zaman jahiliyah istri tersebut tidak boleh digauli, statusnya
tidak cerai dan juga tidak bersuami lagi, namun istri ini tetap tidak boleh
kawin dengan lelaki lain. Kemudian datang Islam mengubah hukum zihar ini. Zihar
berlaku untuk setiap istri, baik yang telah disetubuhi maupun yang belum,
bagaimanapun keadaan istri tersebut asalkan ia dapat dijatuhi talaq.[2]
Diriwayatkan oleh Al-Hakim bersumber dari Aisyah yang berkata:
Sesungguhnya saya pernah mendengar Khaulah Binti Tsa’labah yang mengadukan
suaminya (Aus bin Shamit) kepada Rasulullah SAW tetapi saya tidak mendengar
pengaduannya itu seluruhnya. Dia berkata “Masa mudaku telah berlalu, perutku
sudah keriput sehingga ketika saya telah tua bangka dan tak akan dapat melahirkan
seorang bayi lagi, suamiku telah menziharku. Ya Allah aku mengadu kepada-Mu.
Lalu Allah mendengar pengaduan wanita tersebut kemudian turun ayat larangan
zihar.[3]
Kepada Haulah, Nabi bersabda: “Sesungguhnya ia memerdekakan budak”.
Haulah menjawab: “Ia tidak punya”. Nabi bersabda lagi: “Suruh ia berpuasa dua
bulan berturut-turut”. Haulah menjawab: “Ya Rasulallah, ia sudah tua, tidak
kuat berpuasa”. Nabi bersabda lagi: “Suruh ia memberi makan 60 fakir miskin”.
Haulah menjawab: “Ia tidak punya apa-apa untuk disedekahkan”. Nabi bersabda: “Saya akan membantunya dengan
sebakul kurma”. Kata Nabi: “Bagus, berikan kepada 60 orang fakir miskin
kemudian kembalilah engkau kepada anak pamanmu (suaminya)”.[4]
Dalam surat al-Mujadalah ayat 4 diterangkan syarat-syarat bagi
suami istri dapat bercampur atau melaksanakan perkawinan kembali jika mereka
telah bercerai, yaitu pihak suami wajib membayar kafarat. Kewajiban membayar kafarat
itu disebabkan setelah terjadinya zihar dan telah adanya kehendak suami untuk
kembali mencampuri istrinya ('aud).
Imam Syafi’i berkata, “Orang yang menzhihar dan tidak mendapatkan
budak untuk dimerdekakan, dan tidak mampuh berpuasa berturur-turut, baik karena
sakit atau sebab yang lain, maka dia boleh membayar kafarat dengan memberi makan
60 orang miskin.”
Imam Syafi’I melanjutkan, “Orang menzhihar tidak boleh memberi
makan kepada kurang dari 60 orang miskin. Setiap orang miskin harus diberi satu
mud makana pokok daerah tempat dia tinggal.
Kafarat suami yang menzhihar istinya itu sebenarnya ada tiga
tahapan. Yang pertama telah dijelaskan dalam surat al-Mujadalah 3, yaitu
memerdekakan budak, sedangkan dalam
surat al-Mujadalah 4 itu disebutkan dua tahapan dalam membayar kafarat. Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah puasa dua bulan
berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari puasa yang akan
dilakukan itu.
Hal ini berarti jika ada yang lowong atau tidak berturut-turut
seperti puasa sehari atau lebih kemudian tidak puasa pada hari yang lain dalam
masa dua bulan itu, maka puasa itu tidak dapat dijadikan kafarat, walaupun
tidak berpuasa itu disebabkan safar atau sakit. Puasa itu dilakukan sebelum
melakukan persetubuhan. Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka
dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.[5]
Seandainya seoarang suami membayar kafarat zhihar dengan cara
memberi makan kepada tiga puluh orang miskin, masing-masing sebanyak dua mud,
dalam sehari atau dalam beberapa hari, maka tetap yang dihitung tetap tiga
puluh orang, dan sisanya dianggap sedeakah. Karena Allah SWT mewajibkan dia untuk
memberi makan 60 orang miskin, ini artinya masing-masing orang miskin mendapat
satu mud.
Juga tidak cukup dengan cara memberikan uang seharga makanan
meskipun jumlahnya berlipat ganda. Dia harus memberi mereka satu mud makanan
untuk tiap orang.dia juga tidak boleh membayar kafarat dengan cara membayar
kafarat dengan seharga makanan yang harus diberikan.[6]
2.
Tafsir surat al-Mujadalah 4
Firman Allah
SWT ( فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ ) “Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut” orang yang tidak
mampu membayar kafarat zhihar dengan memerdekakan budak, diperboleh untuk membayar
kafarat zhihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, karena sesungguhnya
itu yang harus dikerjakan ketika tidak mampu membayar kafarat dengan
memerdekakan budak, ini untuk menjaga kehormatan istri.
Berpindahnya kafarat tersebut karena adanya
kesulitan dengan bersabar menahan
kelezatan makan dan minum untuk sesuatu yang diwajibkan karena zihar. Maka
dapat disimpulkan bahwa dalam prakteknya, membayar kafarat dengan bepuasa itu
adalah tingkatan kafarat yang normor dua dari pada memerdekakan budak.[7]
Adapun pengertian ayat, ( مِنْ قَبْلِ أَنْ يَّتَمَاسَّا
) “ sebelum
kedua suami istri itu berhubungan” adalah waktu bagi suami untuk membayar
kafarat sebelum dia berhubungan badan dengan istrinya. Jika hubungan badan itu
dilakukan sebelum suami membayar kafarat maka tenggat waktu tersebut habis,
namun dia tetep harus membayar kafarat tanpa harus menambah jumlahnya. Hal ini
seperti kasus seorang yang memerintah, kerjakan shalat pada waktunya. Kemudian
waktu yang ditentukan habis, namun dia tetap harus melaksanakannya karena
shalat itu wajib. Jika ia tidak dapat shalat pada waktunya, dia bisa melakukan
pada waktu yang lain, dan tidak perlu menambah jumlah rakaat shalatnya karena
keterlambatan tersebut.[8]
Maksud dari ayat, ( فَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنَا
) “Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam
puluh orang miskin”. Allah SWT
menjelaskan siapa saja di antara kalian yang tidak mampu membyar kafarat zhihar
dengan berpuasa, maka wajib atasnya meberi makan enam puluh orang miskin.
Mengenai bentuk makanan sudah dijelaskan dalam pembahsan yang terdahulu.
Ayat selanjutnya, ( ذَلِكَ
لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ) “Demikianlah
supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Hukuman ini diwajibkan bagi orang
yang zihar, diwajibkan membayar kafarat dengan memerdekakan budak jika ia
mampu, lalu mendapat dispensasi jika ia tidak mampu maka dengan berpuasa dua
bulan berturut-turut, dan jika masih tidak mampu juga maka dengan memberi makan
enam puluh orang miskin. Dan ini merupakan bentuk dari pengakuan manusia atas ketauhidan
Allah dan risalah Nabi Muhammad SAW. Dengan membenarkan tentang hal tersebut,
dan mengerjakannya, serta mencegah perkataan yang palsu dan bohong. [9]
Sedangkan maksud ayat, ( وَتِلْكَ
حُدُوْدُ اللهِ ) “Dan itulah hukum-hukum Allah”.
Yakni berbagai hal yang telah diharamkan-Nya. Oleh karenanya jangan sampai
kalian melanggarnya.
Dan penjelasan ayat selanjutnya ( وَلِلْكَافِرِيْنَ
عَذَابٌ أَلِيْمٌ ) “Dan bagi orang-orang kafir ada siksaaan yang sangat pedih”.
Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak menjalankan berbagai hukum
syari’at ini serta mereka tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari
berbagai musibah. Tidaklah demikian, sesungguhnya peristiwa yang akan terjadi
tidak seperti yang mereka kira, tetapi mereka mendapatkan adzab yang pedih di
dunia dan akhirat.[10]
3.
Hukum yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 4
Mengenai
kafarat dari orang menzhihar istrinya dalam surat al-Mujadalah ayat 4 tersebut
dapat di ambil hukum:
1.
Wajib
bagi seorang suami yang menzhihar istrinya membayar kafarat dengan berpuasa dua
bulan berturut-turut, jika suami tidak mampu untuk memerdekakan budak, sebelum
kedua suami istri tersebut berhubungan badan. Dilarang seorang suami melakukan
hubungan suami istri sebelum mebayar kafarat itu hukumnya adalah haram. Dan
suami tetap wajib membayar kafarat sekalipun dia telah menggar hal tersebut.
فَمَنْ
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَّتَمَاسَّ
2.
Dan
jika suami tidak mampu untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turur, maka dia
wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang dari
enam puluh. Setiap orang medapatkan bagian satu mud.
فَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنَا
3.
Kafarat
zihar tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama
yang harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu,
baru berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup
berpuasa dua bulan berturut- turut, barulah boleh memberi
makanan 60 orang miskin (sekali makan). Dan ini
merupakan bentuk dari pengakuan manusia atas ketauhidan Allah dan risalah Nabi
Muhammad SAW.
ذَلِكَ
لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ
BAB III
SIMPULAN
1.
Kandungan
yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4, yaitu Apabila seorang suami
men-zihar istrinya, maka ia tidak boleh menggauli istrinya tersebut sebelum
membayar kafarat (denda) zihar. Ayat diatas menunjukkan bahwa zihar yang sah
itu hanyalah dari pihak suami, bukan dari pihak istri.
2.
Tafsir
yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4 adalah kafarat yang harus di
bayar oleh suami karena telah menzhihar istrinya, yaitu berpuasa selam dua
bulan berturut-turut dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin
masing-masing medapatkan bagian satu mud.
3.
Hukum
yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 4 yaitu, wajib bagi suami yang
menzhihar istrinya untuk membayar kafarat dengan berpuasa dua bulan
berturut-turut dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar