BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mut’ah (المتعة) secara bahasa artinya adalah kesenangan,
sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang
dicerai sebagai penghibur.[1]
Pendapat lain dikatakan bahwa mut’ah adalah suatu pemberian oleh suami
kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur.
Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut
keadaan dan kemampuan suami.[2]
B.
Pendapat ulama dan Undang-undang’ tentang mut’ah
1.
Dari segi hukum mut’ah
Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap
wanita yang dicerai sebelum digauli, Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ
وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Al-Ahzab: 49)
Segolongan fuqaha berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan,
tidak diwajibkan, hal ini dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah
memberikan mut’ah itu sunnah. [3]
Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat 236 surat Al-Baqarah:
حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.” [4]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk
setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak
suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai
sebelum digauli. Sebagaimana firman Allah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.”(al-Baqarah:236)
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami tidak
wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya, karena isteri
telah mendapat mahar. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang
dicerai, karena Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ
وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu
sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya
kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. al-Ahzab: 28).
Dalam qaul qadim tersebut, Imam Syafi’i menggunakan logika
sebagai argumennya, sedangkan dalam qaul jadid, beliau menggunakan
al-Qur’an sebagai argumennya, yaitu QS. al-Ahzab: 28.[5]
Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk setiap
istri yang dicerai. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah: 241, yang
berbunyi:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”[6]
2.
Dari segi jenis talak
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa mut'ah itu wajib hukumnya untuk semua isteri yang ditalak, tanpa
mempertimbangkan jenis maharnya dan perceraiannya.
Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang
perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya
dan diceraikan sebelum digauli.[7]
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut’ah
itu kepada keumumannya. Memberi mut'ah itu hukumnya wajib, baik yang terjadi
itu adalah talak raj'iy, talak bâ`in maupun karena kematian salah
satunya, sebelum dukhul atau setelahnya, pernah disebutkan secara jelas
sebelumnya atau tidak.[8]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’
tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi,
seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan mahar.[9]
Dijelaskan
kembali dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 bahwasanya, bagi perempuan
yang dicerai sebelum dicampuri, atau sebelum ditentukan maharnya, hendaklah
para suami mereka memberikan mut’ah kepada mereka sesuai dengan
kemampuannya. Kemudian, dijelaskan lagi dalam ayat 241 bahwasanya, bagi
wanita-wanita yang dicerai, hendaklah suaminya memberikan mut’ah. Dalam
ayat ini tidak dijelaskan secara khusus mengenai isteri-isteri yang bagaimana
yang akan diberi mut’ah oleh suaminya, artinya ayat ini menyebutkan
bahwa semua wanita yang dicerai diberikan mut’ah oleh suaminya. Dalam Shofwat
at-Tafaasir dijelaskan bahwa dalam
ayat ini suami wajib memberikan mut’ah kepada isterinya sesuai kadar kemampuannya,
hal ini merupakan kewajiban bagi orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah.[10]
Dari kedua ayat ini
muncullah perbedaan dikalangan para ulama’, sebagian berpendapat bahwa
yang dibayar mut’ahnya hanya isteri yang belum dicampuri saja, sedangkan
isteri yang sudah dicampuri, apalagi sudah dibayar maharnya, maka hukumnya
hanya sunnah saja.[11]
Namun dalam surat al-Ahzab ayat 28, dijelaskan tentang kisah Rasulullah yang
diperintah untuk menyampaikan kepada isteri-isterinya, bahwa mereka disuruh
untuk memilih apakah mereka menginginkan
dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah dengan hidup apa
adanya. Kalau mereka memilih bercerai, maka Rasulullah akan menceraikan mereka
dan akan diberi mut’ah sebagai pengobat hati.
3.
Dari Segi Jumlahnya
Sementara
tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan itu, dijelaskan dalam surat
al-Baqaraħ [2] ayat 236 (di atas). Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan
maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan suami kepada isterinya.
Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan
jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah
"kepatutan". Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa
"Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut". Dengan
pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan
dalam pemberian mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan
kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya, suami yang
kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang
termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si
isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup "cukup" atau
(apalagi) "mewah" dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak
pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya "sedikit". Sebabnya,
seperti dikatakan al-Kasaniy, karena mut'ah itu
sendiri adalah sebagai ganti dari "kemaluannya". Oleh karena itu,
keadaan si isteri lah yang jadi pedoman dalam penentuan mut'ah itu. Ketiga,
patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya
kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang
berada di sekitarnya. [12]
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 160 dijelaskan bahwa jumlah mu’tah yang
diberikan kepada seorang istri oleh si suami didasarkan kepada kepatutan dan
kemampuan si suami. Maka karena itu, keadaan ekonomi dan sosial suami amat
menentukan terhadap besarnya mut’ah.
4.
Mut’ah dalam Undang-undang
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi
perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi
kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan
suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya.[13]
Sebagaimana bunyi pasalnya:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau mennetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”[14]
Di samping UU tersebut, KHI juga mengatur masalah mut’ah,
diantaranya:
Pasal
158:
Mut’ah wajib
diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.
Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul
b.
Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159:
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal
158
Pasal 160:
Besarnya mut’ah
disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[15]
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.
BAB IV
KESIMPULAN
pengertian
mut’ah secara bahasa adalah kesenangan. sedangkan
menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai
penghibur. Hal ini diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 41. Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan
untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli. Sedangkan Segolongan fuqaha
berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini
dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah
itu sunnah.
Mut’ah
memang diberikan kepada perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Namun tidak
semua perempuan yang dicerai memperoleh mut’ah. Imam Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang
perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya
dan diceraikan sebelum digauli. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan
yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah.
Mengenai jumlah mut’ah disesuaikan dengan kemampuan suami dan
kepatutan terhadap kebiasaan dan kondisi istri. Jadi bentuk atau jumlah mut’ah
bisa dikatakan patut jika sudah patut dengan tiga kepatutan yang sudah disebut.
Karena nash tidak pernah mengaturnya.
DARTAR PUSTAKA
Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, 1982, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi
Tartîb al-Syarâ`i', Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy
Ali bin Ahmad
bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah
Ali as-Shobuni, 2011, Shafwat at-Tafaasir, Beirut: Maktab
al-‘Ashriyyah
A.W. Munawwir, 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif
Hadikusuma, H. Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia,
Bandung: Mandar Maju
Hamka, 2004, Tafsir al-Azhar, Jakarta:
Pustaka Panjimas
Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun,
2002, Bidayatul Mujtahid juz II,
Jakarta: Pustaka Amani
Mubarok, Jaih, 2002, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Naruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta:
Kencana
____________2007, Undang-undang Pokok Perkawinan,
Jakarta: Sinar Grafika
Undang-undang
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Graha Pustaka
[1] A.W. Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
hal. 1307
[2] Prof. H.
Hilman Hadikusuma, S.H., Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar
Maju, 2007) hal. 179
[3] Ibnu Rusyd,
penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid
juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[4] Ibid, hal. 624
[5] Jaih Mubarok, Modifikasi
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 269
[6] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun,
Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[8] Ali bin Ahmad
bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, (Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, tanpa thn), hal. 245
[9] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said,
MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka
Amani, 2002) hal. 623
[10] Syaikh Muh.
Ali as;Shobuni, Shafwat at-Tafaasir, (Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah,
2011), hal. 130
[11] Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hal. 340
[12] Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb
al-Syarâ`i', (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), Juz 2, h. 304
[13] Dr. Amiur
Naruddin, MA & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004) hal. 255
[14] Undang-undang
Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 13
[15] Undang-undang
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Graha Pustaka, tanpa
tahun) hal. 184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar