Rabu, 01 Agustus 2012

MUT'AH PASCA CERAI


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Mut’ah (المتعة) secara bahasa artinya adalah kesenangan, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.[1] Pendapat lain dikatakan bahwa mut’ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.[2]

B.     Pendapat ulama dan Undang-undang’ tentang mut’ah
1.      Dari segi hukum mut’ah
Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Al-Ahzab: 49)
Segolongan fuqaha berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah. [3] Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat 236 surat Al-Baqarah:
 حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ  
“Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” [4]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai sebelum digauli. Sebagaimana firman Allah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”(al-Baqarah:236)
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami tidak wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya, karena isteri telah mendapat mahar. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerai, karena Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (QS. al-Ahzab: 28).

Dalam qaul qadim  tersebut, Imam Syafi’i menggunakan logika sebagai argumennya, sedangkan dalam qaul jadid, beliau menggunakan al-Qur’an sebagai argumennya, yaitu QS. al-Ahzab: 28.[5]

Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk setiap istri yang dicerai. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah: 241, yang berbunyi:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”[6]



2.      Dari segi jenis talak
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut'ah itu wajib hukumnya untuk semua isteri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis maharnya dan perceraiannya.
Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya dan diceraikan sebelum digauli.[7]
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut’ah itu kepada keumumannya. Memberi mut'ah itu hukumnya wajib, baik yang terjadi itu adalah talak raj'iy, talak bâ`in maupun karena kematian salah satunya, sebelum dukhul atau setelahnya, pernah disebutkan secara jelas sebelumnya atau tidak.[8]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan mahar.[9]
Dijelaskan kembali dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 bahwasanya, bagi perempuan yang dicerai sebelum dicampuri, atau sebelum ditentukan maharnya, hendaklah para suami mereka memberikan mut’ah kepada mereka sesuai dengan kemampuannya. Kemudian, dijelaskan lagi dalam ayat 241 bahwasanya, bagi wanita-wanita yang dicerai, hendaklah suaminya memberikan mut’ah. Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara khusus mengenai isteri-isteri yang bagaimana yang akan diberi mut’ah oleh suaminya, artinya ayat ini menyebutkan bahwa semua wanita yang dicerai diberikan mut’ah oleh suaminya. Dalam Shofwat at-Tafaasir  dijelaskan bahwa dalam ayat ini suami wajib memberikan mut’ah  kepada isterinya sesuai kadar kemampuannya, hal ini merupakan kewajiban bagi orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah.[10]
Dari kedua ayat ini  muncullah perbedaan dikalangan para ulama’, sebagian berpendapat bahwa yang dibayar mut’ahnya hanya isteri yang belum dicampuri saja, sedangkan isteri yang sudah dicampuri, apalagi sudah dibayar maharnya, maka hukumnya hanya sunnah saja.[11] Namun dalam surat al-Ahzab ayat 28, dijelaskan tentang kisah Rasulullah yang diperintah untuk menyampaikan kepada isteri-isterinya, bahwa mereka disuruh untuk memilih  apakah mereka menginginkan dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah dengan hidup apa adanya. Kalau mereka memilih bercerai, maka Rasulullah akan menceraikan mereka dan akan diberi mut’ah sebagai pengobat hati.
3.      Dari Segi Jumlahnya
Sementara tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan itu, dijelaskan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 236 (di atas). Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah "kepatutan". Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut". Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup "cukup" atau (apalagi) "mewah" dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya "sedikit". Sebabnya, seperti dikatakan al-Kasaniy,  karena mut'ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari "kemaluannya". Oleh karena itu, keadaan si isteri lah yang jadi pedoman dalam penentuan mut'ah itu. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. [12]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 160 dijelaskan bahwa jumlah mu’tah yang diberikan kepada seorang istri oleh si suami didasarkan kepada kepatutan dan kemampuan si suami. Maka karena itu, keadaan ekonomi dan sosial suami amat menentukan terhadap besarnya mut’ah.

4.      Mut’ah dalam Undang-undang
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.[13] Sebagaimana bunyi pasalnya:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau mennetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”[14]
Di samping UU tersebut, KHI juga mengatur masalah mut’ah, diantaranya:
Pasal 158:
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.                   Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul
b.                  Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159:
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[15]

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.



BAB  IV
KESIMPULAN
pengertian mut’ah secara bahasa adalah kesenangan. sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.  Hal ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41. Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli. Sedangkan Segolongan fuqaha berpedapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini dperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah.
Mut’ah memang diberikan kepada perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Namun tidak semua perempuan yang dicerai memperoleh mut’ah. Imam Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya dan diceraikan sebelum digauli. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah.
Mengenai jumlah mut’ah disesuaikan dengan kemampuan suami dan kepatutan terhadap kebiasaan dan kondisi istri. Jadi bentuk atau jumlah mut’ah bisa dikatakan patut jika sudah patut dengan tiga kepatutan yang sudah disebut. Karena nash tidak pernah mengaturnya.

DARTAR PUSTAKA

Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, 1982, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i', Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy
Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah
Ali as-Shobuni, 2011, Shafwat at-Tafaasir, Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah
A.W. Munawwir, 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif
Hadikusuma, H. Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju
Hamka, 2004, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas
Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, 2002, Bidayatul Mujtahid juz II, Jakarta: Pustaka Amani
Mubarok, Jaih, 2002, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Naruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Kencana
____________2007, Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika
Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Graha Pustaka


[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hal. 1307
[2] Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2007) hal. 179
[3] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[4] Ibid, hal. 624
[5] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 269
[6] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 622
[7] Ibid, hal. 623
[8] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tanpa thn), hal. 245
[9]  Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said, MA. & Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hal. 623
[10] Syaikh Muh. Ali as;Shobuni, Shafwat at-Tafaasir, (Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah, 2011), hal. 130
[11] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hal. 340
[12] Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i', (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), Juz 2, h. 304
[13] Dr. Amiur Naruddin, MA & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004) hal. 255
[14] Undang-undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 13
[15] Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Graha Pustaka, tanpa tahun) hal. 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar